Jl. Sisingamangaraja, RT.2/RW.1, Selong, Kby. Baru, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12110

BEYE (Berita YISC) Rubrik: I-Con (Inspiration Corner) Hukuman Mati dalam Kacamata Islam (sebuah telaah sederhana)

Penulis : Cut Hani Bustanova (Daffa)
Editor : Apriliah Rahma (Daffa)
Kata Kunci : hudud dan ta’zir

“Kejahatan pertama diantara manusia yang akan Allah hukum pada hari perhitungan adalah penghilangan nyawa secara tidak sah.”(H.R. Bukhari Muslim).

Hingga tahun 2006 tercatat ada sebelas peraturan perundang-undangan di Indonesia yang masih memiliki ancaman hukuman mati, seperti: KUHP, UU Narkotika, UU Anti Korupsi, UU Anti Terorisme, dan UU Pengadilan HAM. Daftar ini bisa bertambah panjang dengan adanya RUU (Rancangan Undang-Undang) intelijen dan RUU Rahasia Negara. Dalam kurun waktu Januari hingga September 2016, badan peradilan telah menjatuhkan vonis mati untuk 35 perkara. Sebanyak 25 diantaranya merupakan kasus narkotika, sementara sisanya berkaitan dengan pembunuhan dan kejahatan seksual. Sebenarnya, sudah sejak lama pelaksanaan hukuman mati di negeri ini menuai kontroversi. Banyak pihak yang mendukung, namun tidak sedikit pula yang menentang.

Riset terbaru AJI (Aliansi Jurnalis Independen) Jakarta terhadap lima media cetak nasional terkait dengan eksekusi mati menunjukkan empat dari lima media yang diteliti memiliki sikap menentang hukuman mati. “Jakarta Post, Koran Tempo, Kompas, dan Media Indonesia menolak hukuman mati”, kata Koordinator Riset AJI Jakarta Ikhsan Raharjo dalam peluncuran hasil riset pemantauan isu hukuman mati yang diselenggarakan oleh AJI Jakarta dan Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) di Jakarta, Sabtu, 8 Oktober 2016. Adapun media kelima yakni Republika, cenderung mendukung pelaksanaan hukuman mati karena lebih banyak menampilkan laporan perkembangan tahapan eksekusi mati ketimbang berita yang menolak hukuman mati. (Tempo, 9 Oktober 2016). Sayangnya, media Tempo tidak memberitakan analisis lebih lanjut tentang seperti apa bentuk dukungan Republika terhadap pelaksanaan hukuman mati ini.

Sebagai pemuda Islam, bagaimanakah seharusnya kita menyikapi isu hukuman mati ini?

Perlawanan terhadap praktik hukuman mati sendiri telah lama diperingati pada Hari Anti Hukuman Mati Sedunia yang jatuh setiap tanggal 10 Oktober. Mereka yang anti, menganggap hukuman mati melanggar Hak Asasi Manusia. Beberapa alasan dari pihak yang anti hukuman mati antara lain karena adanya kecacatan hukum pada praktik hukuman mati yang diterapkan. Kasus Yusman Telaumbanua misalnya, ia dijatuhi hukuman mati karena diduga membunuh atasannya. Namun ternyata, setelah diteliti lebih lanjut, ia baru berusia 16 tahun dan karena minimnya pengetahuan Yusman, ia terpaksa menandatangani BAP (Berita Acara Pemeriksaan) dari kepolisian. Saat ini ia tengah menunggu proses pengajuan Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung. Ketiadaan tafsir baku atas bentuk kejahatan luar biasa yang mesti diganjar hukuman mati juga ikut menimbulkan polemik tersendiri dalam kebijakan pemberian hukuman mati ini. Akhirnya, timbul kesan bahwa hukuman mati cenderung digunakan sebagai basis legitimasi politik ketimbang menghadirkan keadilan seluas-luasnya kepada publik. (CNN Indonesia, 9 Oktober 2016). Demikianlah beberapa senarai pemberitaan tentang kontroversi hukuman mati yang tercatat di beberapa laman internet.

Islam sangat menjunjung tinggi hak dan asasi manusia. Pihak yang menentang adanya hukuman mati mengatasnamakan Hak Asasi Manusia untuk hidup sebagai alasan. Mereka juga menyayangkan adanya diskriminasi terhadap terpidana hukuman mati. Hal ini yang dijadikan senjata oleh beberapa redaktur media dalam menentang hukuman mati ini. Padahal, jika kita lihat pada Al qur’an surat Al an’am ayat 151 dan Al maidah ayat 32 Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjelaskan bahwa kita diharamkan membunuh jiwa yang diharamkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, melainkan dengan ‘suatu’ yang benar. Allah Subhanahu Wa Ta’ala juga menerangkan bahwa jika kita membunuh seorang manusia bukan karena orang itu telah membunuh orang lain atau bukan karena ia telah membuat kerusakan di muka bumi, (pihak) pembunuh dianggap seakan-akan telah membunuh manusia seluruhnya. Sebaliknya, seseorang yang telah memelihara kehidupan manusia maka ia dianggap telah memelihara kehidupan manusia seluruhnya. Dalam hal ini, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa pembuat kerusakan hingga tidak bisa dicegah kerusakannya kecuali dengan cara dibunuh, maka bunuhlah orang itu. (Rumah Fiqih, 9 Maret 2015).

Pada sebuah hadits Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassalam bersabda :“Kejahatan pertama di antara manusia yang akan Allah hukum pada hari perhitungan adalah penghilangan nyawa secara tidak sah.” (H.R. Bukhari dan Muslim). Hadits di atas menginsyaratkan bahwa sekalipun dalam hukum Islam masih memberlakukan hukuman mati, Islam tetap memberikan pembatasan-pembatasan yang sangat teliti dan serius dalam pemberlakuan hukumnya. Dr. Abdul Gani Isa, S. H, M. Ag, Ketua Program Studi Perbandingan Mazhab Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Ar Raniry, Banda Aceh, menyatakan, ada lima pembatasan spesifik untuk menetapkan keputusan menjatuhkan hukuman mati kepada seorang terpidana. Pembatasan pertama, ketentuan hukuman mati itu merupakan bagian dari proses memelihara kehidupan itu sendiri sehingga para ahli fiqh lebih memilih menghindari hukuman mati melalui ketentuan-ketentuan prosedural atau keringanan yang dalam bahasa teknis hukum internasional disebut dengan procedural and commutative provision. Dalam fiqh klasik, sekalipun terdapat ketentuan hukuman yang disebut dengan hudud untuk beberapa jenis pelanggaran yang lebih bersifat retributive semisal qishash, namun dalam banyak kasus, hukum tradisional Islam lebih mengedepankan pada aspek diskresioner yang dikenal dengan ta’zir. Misalnya dengan pembayaran diat (blood money), sebagai ganti hukuman mati. Nabi Muhammad Shalallahu’alaihi Wassalam sendiri dalam beberapa kasus menganjurkan sebisa mungkin menghindari hukuman mati. Selain itu, Nabi Muhammad Shalallahu’alaihi Wassalam juga lebih mendorong ahli waris pihak terbunuh supaya memaafkan pelaku pembunuhan. (Wahbah Zuhayli, Fiqh al-Islam i wa Adilatuhu,Vol. 7, Hal. 5037-5038). Sebagai referensi, hudud adalah hukuman-hukuman kejahatan yang telah ditetapkan oleh syara’ untuk mencegah terjerumusnya seseorang kepada kejahatan yang sama dan menghapus dosa pelakunya (Yarhu al-Mumti’ 14/206). Lebih jauh mengenai fikih hudud, kita bisa membaca tulisan karya Ustadz Kholid Syamhudi, Lc terkait pengertian, delik hukuman kejahatan yang terkena hudud, hikmah pensyari’atan hudud, syarat penetapan hudud, hukum penegakan had, pihak yang berwenang melaksanakan hudud, kedudukan laki-laki dan perempuan dalam pemberlakukan hudud di laman Al-Manhaj, 29 September 2012.

Pembatasan kedua, hukum tradisional Islam seperti halnya ketentuan pembatasan dalam pandangan HAM, sangat menekankan proses pemeriksaan yang adil dan tidak diskriminatif. Hukum tradisional Islam membedakan putusan (qadha’), yang dijatuhkan oleh pengadilan yang berwenang dengan pendapat hukum (fatwa) dari seorang mufti yang terkait. Putusan akhir yang bisa mengeksekusi (qadha’), hanya bisa dijatuhkan oleh hakim setelah pertimbangan penuh sesuai dengan proses hukum yang berlaku. Sementara fatwa hanyalah opini hukum yang tidak mengikat dan tidak dapat dijadikan dasar untuk mengeksekusi hukuman mati.

Pembatasan ketiga¸ dalam hukum tradisional Islam, adanya penganjuran pemberian ampunan atas pelaku dosa. Hal ini berarti dalam hukum tradisional Islam, Islam mengakui prinsip amnesti. Prinsip amnesti ini bisa diberikan oleh penguasa sesuai dengan prinsip haq al’afw’an al-‘uqubah, yakni untuk mengampuni hukuman. Sebagian ahli fiqh berpendapat pertimbangan remisi merupakan alternatif yang lebih baik daripada hukuman mati dalam perkara pembunuhan.

Pembatasan keempat, dalam hukum tradisional Islam, pemberlakuan hukuman hudud hanya berlaku bagi mukallaf, yakni orang yang sudah memasuki masa baligh dan dalam keadaan berakal sehat. Hal ini berarti hudud tidak berlaku bagi anak-anak dan orang yang mengalami gangguan kejiwaan. Selain itu, beberapa syarat diperlakukannya hudud juga bukan pada perempuan yang sedang hamil dan menyusui sehingga perlu menunggu sampai perempuan itu selesai melahirkan dan menyusui untuk melaksanakan hudud ini.

Pembatasan kelima, dalam hukum tradisional Islam, penetapan hukuman atau sanksi hudud menuntut adanya syarat-syarat pembuktian yang ketat bagi pelanggar ketentuan hudud.Sebenarnya dalam banyak kasus pembuktian itu, banyak kasus yang berakhir pada ta’zir (discretionary). Contohnya untuk menjatuhkan hukuman rajam atau dera atas kasus perbuatan mesum, ketentuan pertama harus dapat dibuktikan oleh empat orang saksi dengan kriteria laki-laki, baligh, adil dan jujur. Jika dari keterangan saksi tersebut ada satu saja orang yang memberikan kesaksian berbeda atau mungkin ragu, penjatuhan hukuman bisa berubah menjadi ta’zir atau bahkan bebas sama sekali.

Sebagian ulama ada yang membolehkan hukuman mati dalam ta’zir, yaitu hanya kasus-kasus tertentu dengan dipenuhinya syarat-syarat tertentu. Itupun para ulama berbeda pendapat dalam memilahnya. Di antara ta’zir yang diperbolehkan menurut sebagian ulama adalah hukuman mati bagi mata-mata yang bekerja untuk kepentingan musuh-musuh Islam. Selain itu, orang yang mengajarkan perkara bid’ah dalam dasar-dasar aqidah juga termasuk mereka yang boleh dihukum ta’zir dengan cara dibunuh. Terakhir, Imam Abu Hanifah juga berpendapat bahwa penjahat kambuhan (penjahat yang melakukan kejahatan yang sama berulang-ulang) juga termasuk mereka yang bisa dihukum mati melalui jalur ta’zir. Syaratnya, kejahatan yang dilakukannya memang memungkinkan untuk dijatuhi hukuman mati, seperti melakukan perbuatan liwath (homoseksual) atau membunuh dengan palu. (Rumah Fiqih, 9 Maret 2015).

Ta’zir adalah bentuk pembelajaran tata krama agar bisa menimbulkan efek jera. Ta’zir dapat dilakukan dengan (semacam) memenjarakan, memukul (dengan tanpa merusak anggota tubuh) seperti menampar, dan membuka penutup kepala dan mencoreng hitam wajahnya. Sedangkan ta’zir yang diberlakukan atas pengembalian harta benda adalah dengan mengekang pelakunya hingga ia jatuh miskin. Bila terpidana dalam kondisi mampu (secara harta) namun tidak mau mengembalikan harta (seperti misalnya pada kasus korupsi), tanggungannya dengan dipukuli hingga menyakitkannya atau membuatnya mati karena ia seperti sho’il yakni orang yang menjarah hak orang lain. (Tanwirul Qulub Hal. 392). Imam Malik berkata, “Jika pelaku tindak pencurian merupakan orang kaya, ia harus menanggung pengembaliannya. Dalam hal ini jika dikaitkan dengan kasus korupsi, terpidana kasus korupsi harus mengembalikan uang negara yang telah diambilnya. Namun jika pelaku pencurian bukan orang kaya, ia tidak diharuskan mengembalikan curiannya. Sebaliknya hukuman potong tangan tetap berlaku pada semua kondisi pencuri baik yang kaya maupun yang miskin. Jika pencuri telah mengembalikan uang ke tempat ia mencuri (atau kepada ‘rakyat’ pada kasus korupsi), pencuri/koruptor itu harus tetap dipotong tangannya (Hasyiyah al-Jamal 21/188). Kesimpulannya adalah sungguh boleh menghukum mati sebagai kebijakan bagi orang-orang yang sering melakukan tindakan kriminal, pecandu minuman keras, para pengatur dan pelaku tindakan kejahatan dan pelaku tindakan subversif yang mengancam keamanan negara dan semisalnya. (Al-Fiqh al-Islaam VII/518) dalam laman Piss-KTB, 9 Maret 2000.

Terakhir, menurut Dr. Abdul Gani Isa, S. H, M. Ag, ayat yang dijadikan rujukan utama bagi kelompok muslim yang menyetujui atau bahkan bersemangat untuk memberlakukan hukuman mati adalah : “Hai orang yang beriman, diwajibkan atas kamu meng-qishash atas pembunuhan, nyawa (seseorang yang) merdeka harus dibayar dengan nyawa merdeka, budak harus dibayar dengan budak, perempuan harus dibayar dengan perempuan. Dan jika engkau memaafkan, maka lakukanlah dengan cara yang terbaik, sesungguhnya memaafkan itu merupakan bentuk kasih sayang dan rahmat-Nya…” (Al baqarah: 178). Pada ayat tersebut, hingga penggalan ayat “…perempuan dengan perempuan…” adalah baru pada tahap keadilan retributif. Sementara pada penggalan ayat “…jika kamu memaafkan…”, hingga “…memaafkan itu merupakan bentuk kasih sayang dan rahmat-Nya…” secara implisit mengisyaratkan bahwa keadilan restoratif atau substantif lebih dianjurkan. Sebab hanya Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang memiliki hak penuh untuk menghilangkan nyawa manusia di muka bumi ini.

Pembahasan di atas memberikan renungan baru bagi kita sebagai pemuda Islam untuk berpikir secara lebih menyeluruh baik dalam memahami sebuah kasus terpidana yang diancam hukuman mati maupun pada tata cara pelaksanaan proses hukumnya. Sejatinya, hukum (syari’at) Allah Subhanahu Wa Ta’ala harus tetap dijalankan namun dengan mengedepankan proses hukum yang benar. Proses hukum yang dijalani baik oleh pelaku tindak pidana pembunuhan dan kejahatan seksual, tindak pidana korupsi, pelanggar UU Narkotika, tindak pidana terorisme, dan tindak pidana pelanggaran HAM, maupun oleh pihak penegak hukum seperti Kepolisian dan Peradilan (dari tingkat Pengadilan Negeri sampai dengan Mahkamah Agung) juga pengambilan keputusan oleh Presiden, alangkah baiknya jika melalui pertimbangan lima pembatasan dalam hukum tradisional Islam yang telah diuraikan di atas. Polemik yang sering terjadi di negeri ini, menurut penulis, disebabkan karena adanya kekurangpahaman masyarakat dalam memahami hukum tradisional Islam dan penafsiran ayat tentang hukuman mati dalam Islam itu sendiri. Begitupula kekurangan pahaman masyarakat akan hukum Islam yang sebenarnya serta ijtihad-ijtihad para ulama dalam hal penegakan hukuman mati ini. Telah dijelaskan di atas bahwa Rasulullah SAW pun sangat berhati-hati dalam menjatuhkan hukuman mati. Mungkin, jika para penegak hukum di Indonesia mampu benar-benar memahami dan mengaplikasikan hukum tradisional Islam di negeri ini, pihak-pihak yang menentang adanya hukuman mati (baik pelaku maupun masyarakat luas) akan lebih dapat menerima syari’at hukuman mati ini. Seperti yang dinyatakan Pimpinan Redaksi Jakarta Post, Endy Bayuni, “Dari sisi agama, walau semua mayoritas agama besar membenarkan adanya hukuman mati, semua agama juga mendahulukan compassion serta pemaafan.” Untuk itu ia menyarankan bahwa proses pengadilan di Indonesia masih perlu banyak dibenahi dan diperbaiki. Adapun Wakil Redaktur Kompas, Tri Agung Kristianto menyatakan, “Hukuman mati prinsipnya melawan kemanusiaan dan tidak sesuai dengan prinsip humanisme transedental yang diyakini Kompas. Namun jika dilaksanakan harus sangat sangat sangat berhati-hati. ”Kedua pernyataan redaktur media ini sejalan dengan pernyataan yang disampaikan oleh Deputi Direktur Pemberitaan Media Indonesia, Gaudensius Suhardi. Ia menyatakan bahwa medianya menolak hukuman mati dan mendorong revisi undang-undang yang mengaturnya. Namun ia tetap “menghargai” pelaksanaan hukuman mati karena masih terdapat dalam hukum positif Indonesia.

Presiden Joko Widodo (seperti disebut dalam laman Voa Indonesia, 24 Desember 2014) mendapatkan dukungan dari Ketua Umum PBNU, Said Aqil Siraj dan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Malik Fajar terkait pemberlakuan hukuman mati bagi para pengedar narkoba. Keduanya menyampaikan, NU dan Muhammadiyah sepenuhnya mendukung pelaksanaan hukuman mati bagi para pengedar narkoba, namun tidak kepada pelakunya karena mereka merupakan korban. Malik Fajar juga mendukung penuh kebijakan Presiden Jokowi untuk menolak grasi hukuman mati terpidana narkoba. Kasus peredaran narkoba sudah jelas dampaknya bagi kerusakan perilaku manusia di muka bumi ini. Dengan demikian pendapat dua orang pemimpin organisasi Islam di Indonesia ini sesuai dengan yang pernah dinyatakan oleh Ibnu Taimiyah terkait kejahatan yang dapat memberikan kerusakan di muka bumi ini.

Demikianlah, telaah sederhana penulis tentang hukuman mati dalam pandangan Islam. Semoga dapat menjadi bahan perenungan bagi kita semua. .
Daftar Pustaka :
https://m.tempo.co.read/news/2016/10/09/078810746/aji-jakarta-ungkap-sikap-5-media-soal-hukuman-mati

http://m.cnnindonesia.com/nasional/20150328174400-12-42598/terpidana-mati-anak-bentur-benturkan-kepala-dan-memohon-maaf/

http://m.cnnindonesia.com/nasional/20150319183545-12-40419/terpidana-mati-anak-ajukan-pk-ke-ma/

http://www.voaindonesia.com/a/nu-muhammadiyah-dukung-hukuman-mati=bagi-pengedar-narkoba/257169.html

http://www.rumahfiqih.com/x.php?id=14258180198=bolehkah-menjatuhkan-hukum-mati-dalam-hukum-ta

http://www.piss-ktb.com/2012/03/1287-hukuman-bagi-koruptor-.html?m=0
http://aceh.tribunnews.com/2015/03/13/hukuman-mati-menurut-Islam
http://almanhaj.or.id./3383-fikih-hudud.html

Leave a comment