Jl. Sisingamangaraja, RT.2/RW.1, Selong, Kby. Baru, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12110

BeYe (Berita YISC) : Fresh From The Oven Beginilah Caraku Bertoleransi

Penulis : Fitri Kumala (Abidzar)
Editor : Tia Esti (Al Hijrah)

Pagi tadi aku baru saja baca pendapat seseorang tentang fatwa MUI terbaru mengenai larangan muslim menggunakan atribut natal. Fatwanya baru tahun ini keluar. Tahun-tahun sebelumnya ramai kontroversi terkait larangan bagi muslim mengucapkan selamat dan ikut merayakan hari raya agama lain. Padahal sudah jelas islam melarang umatnya mengucapkan hari raya agama lain apalagi ikut merayakan, sesuai firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

“Jika kamu kafir maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)mu dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu.” (QS Az Zumar : 7)

Qadarullah, siang harinya Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberi saya kesempatan merasakan pengalaman terkait hal yang tadi pagi saya baca yaitu tentang fatwa MUI dan bagaimana seharusnya seorang muslim jika mendapatkan undangan untuk menghadiri atau mengikuti salah satu tradisi dari hari raya non muslim.

Jam 11 siang, manager saya mengirin pesan melalui grup whatsapp teamnya, pesan tersebut mengajak teamnya agar mengikuti acara tukar kado dalam rangka natal.
Reaksi pertama saya?

Oh my God! Why do this have to happen to me? To have this kind of dilemma. Apalagi ada rasa khawatir dinilai macam-macam oleh rekan satu team misalnya dibilang tidak toleransi, ekstrimis, dan lain-lain. Tapi insyaa Allah saya paham kalau ini adalah masalah akidah. Lebih penting mana antara penilaian orang lain atau akidah ini, tentunya akidah. Saya bingung, rasanya ingin menangis saat itu.

Di tengah kebingunan saya mencoba bertanya kepada teman, sekaligus untuk mencari dukungan batin, bahkan saya googling juga artikel-artikel yang terkait sikap muslim terhadap perayaan natal. Setelah semua itu saya lakukan, alhamdulillah itu semua bisa saya pahami dengan baik dan untuk memantapkan diri, akhirnya sayang mengirim pesan ke manager melalui jalur pribadi (manager saya adalah non muslim dan expatriat). Saya katakan kepada beliau : “Pak maaf, saya menghargai maksud baik bapak, tetapi saya tidak merayakan natal dan tidak bersedia mengikuti acara menukar kado. Tidak masalah jika setiap orang akan melanjutkan acaranya tetapi saya tidak mau berpartisipasi. Saya juga tidak masalah yang lain mau merayakan tetapi saya tidak akan berpartisipasi karena itu bertentangan dengan kepercayaan saya, maaf boss”

Setelah menyampaikan semuanya kepada manager, terlintaslah fikiran kalau apa yang saya sampaikan kepada manager saya, beliau jadi baper dan pekerjaan saya terancam tetapi tidak apa-apa saya dapat mencari pekerjaan lain, insyaa Allah saya ikhlas. Jika kita meninggalkan sesuatu karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala maka Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan memberikan yang lebih baik untuk kita.

Alhamdulillah managerku hanya jawab: “Oh sure. It’s ok, no problem.”
Setelah jam makan siang, rekan seniorku kembali ke mejanya dan melewati mejaku. Kemudian dia bertanya, “kamu mau kasih kado siomay Fit?” karena di mejaku hanya ada bungkus siomay sisa makan siang. Saya diam, kemudian melihat kearahnya dan dengan suara yang bergetar saya katakan, “Ko, saya tidak ikut acara tukar kado”.
Saya sudah menduga si Koko (panggilan rekan senior saya) akan bertanya-tanya kenapa dan sebagainya, tetapi sungguh diluar dugaan dia hanya senyum puas sambil mengangguk. Kemudian langsung fokus ke laptopnya.

Obrolan saya dengan Koko lanjut dengan chat via skype :
Koko : Si Fitri tidak ikut. Berarti masih punya iman.
Saya : saya ga enak juga sih Ko sama yang lain (seraya tertawa).
Kemudian koko pun bertanya kepada saya, merasa tidak enaknya dengan siapa. Dan dia juga bertanya tentang hal-hal lainnya, seperti : kenapa ada muslim yang makan daging babi, kenapa ada muslim yang ikut merayakan natal dan lain sebagainya.

Bahagia dan bersyukur memiliki rekan senior yang fikirannya terbuka. Toleransi bukan berarti ikut merayakan, ikut mengucapkan selamat, toleransi adalah membiarkan dan mempersilahkan orang lain (non muslim) merayakan hari raya dan kegiatan keagamaan mereka.

Kemudian si Koko cerita dia beli tumbler termos. Dia bilang, “iya, saya sengaja beli ini aja”. Soalnya saya fikir kamu akan mengikuti acara tukar kado. Karena tumbler ini universal (maksud si Koko tidak ada simbol-simbol natalnya sama sekali). Jadi kalau kamu yang dapat hadiah ini bisa digunakan”.

Alhamdulillah semua berakhir dengan baik. Meeting selesai, acara menukar kado selesai tanpa aku mengikuti acaranya. Saat Manager mengucapkan ‘merry christmas’ di akhir juga saya tidak merespon, saya diam saja dengan pandangan saya tetap pada meja kerja. Tetapi sepertinya beliau mengerti kalau saya memang tidak mau ikut merayakan.

Kembali ke masalah fatwa MUI. Bagi saya, merasa senang dengan adanya fatwa ini. Karena fatwa ini tujuannya berusaha melindungi dan menjaga akidah umat muslim. Sikap dan tindakan ulama-ulama itu benar karena ingin menjaga akidah dan saudara muslimnya. Bagi seorang muslim jika akidah tidak terjaga bisa merusak apa yang sudah diyakini dari ajaran-ajaran agama. Jika tidak ada iman di hati maka hidup tidak berarti. Bukankah dulu Vatikan juga melarang novel Da Vinci Code dibaca oleh umat katolik? Tujuannya sama yaitu melindungi keimanan saudara seiman mereka.

MUI tidak melarang umat nasrani memakai atribut natal, Vatikanpun sepertinya tidak melarang muslim membaca novel ‘Dan Brown’. Mereka ingin menjaga umatnya masing-masing. Adanya Fatwa MUI bisa membantu umat islam menjaga akidahnya walau di luar sana masih ada yang belum memahami sehingga masih ada tanggapan negatif seperti mengatakan, “MUI, tidak ada kerjaan apa, hanya urusan topi saja bisa jadi haram” .

Padahal tadi siang saya berfikir kalau publik semakin paham tentang batasan-batasan toleransi beragama (seperti penyampaian MUI melalui fatwanya), mungkin saya tidak perlu menangis sendirian di mushola memikirkan nasib saya di akhirat nanti bagaimana karena saya dilema merasa tidak enak sama atasan di kantor dan rekan kerja yang ternyata belum paham kalau saya tidak bisa mengikuti perayaan hari besar mereka. Sampai-sampai keluar ucapan mereka “Apa sih, mengucapkan selamat aja kok lebay banget, memang tidak toleransi!”

Lalu bagaimana seorang muslim harus bersikap dengan undangan perayaan natal yaitu menolaknya dan toleransi, toleransi yang berarti membiarkan bukan mengikuti. Natal bukanlah hari raya umat muslim dan di dalam perayaannya ada nilai-nilai yang bertentangan dengan akidah kita. Silahkan kalian merayakan sesuai keyakinan tetapi kami tidak mengikuti dan mendukung perayaan tersebut sesuai dengan keyakinan kami.

“Lakum diinukum wa liya diin”.
“Bagimu agamamu, bagiku agamaku”. (Q.S. Al kafirun : 6)

Leave a comment