Jl. Sisingamangaraja, RT.2/RW.1, Selong, Kby. Baru, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12110

BeYe (Berita YISC) – Bacalah!

Penulis : Tiara Yunanda Putri (Abidzar)
Editor : Siti Saibah Alfatimiyah (Rabbani)

Seharusnya membaca menjadi aktivitas fitrah bagi manusia. Dikatakan fitrah karena perintah pertama yang turun pada Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassalam adalah perintah ‘iqra’ yang berarti bacalah maka sebagai seorang muslim diperintahkan untuk membaca.

Sungguh memperihatinkan bila berbicara tentang membaca dikalangan anak muda muslim dewasa ini karena banyak yang memahami membaca sekedar aktivitas yang dinamakan ‘hobby’. Padahal aktivitas membaca tidaklah harus berbatas dengan kesenangan. Bukankah salah satu cara mendapatkan ilmu adalah membaca? Maka ada pepatah, ilmu itu jendela dunia.

Sungguh alangkah baiknya mengetahui kondisi aktivitas membaca di Indonesia. Menurut data dari UNESCO, minat baca dari 61 negara, Indonesia berada pada urutan ke-60. Bagaimana menurut anda? Kalau saya sedih. Minat membaca masyarakat Indonesia menyentuh diangka 0.001% yang artinya dari 1000 orang di Indonesia hanya 1 orang yang punya kebiasaan membaca.

Fenomena yang sering kita temui tentulah kita tidak heran melihat fakta-fakta tersebut. Hampir berbanding lurus dengan fakta pertama, ternyata umat muslim sendiri faktanya juga sangat mengejutkan. Terjadi penyurutan minat baca yang sangat besar pada umat Islam dan negara-negara kependudukan mayoritas muslim. Dr Raghib As-Sirjani [1] mencatat bahwa angka buta huruf yang terjadi di negeri muslim mencapai 37%. Amir Al – Madari [2] menyampaikan hasil riset tingkat konsumsi buku rata-rata/orang/tahun di dunia, Bangsa Jepang memiliki rata-rata membaca buku 40 buku/tahun, Bangsa Eropa 10 buku dalam setahun, sementara Bangsa Arab hanya 1/10 buku setahun. Jadi anda dapat menjawab mengapa Jepang merupakan negara sangat maju? Mengapa teknologinya semakin berkembang pesat? Selanjutnya timbul pertanyaan menapa perlu mengetahui hal ini ?

Pertama adalah agar timbulnya kesadaran sebagai Warga Negara Indonesia bahwa Indonesia sedang dalam kondisi ‘krisis ilmu’. Kedua adalah sebagai muslim harus kembali memahami bahwa ‘membaca’ adalah sebuah perintah yang berarti wajib dilakukan. Al qur’an sudah sangat jelas memerintahkan.

“Bacalah! Dengan nama Tuhanmu yang menciptakan.” (Q.S. Al alaq: 1)

Ketika sudah mengetahui, bagaimana mungkin enggan membaca padahal perintah sudah di depan mata. Sebelum manusia diciptakan, Allah Subhanahu Wata’ala sudah menyerukan dalam firman-Nya ataukah manusia yang jarang berinteraksi dengan Al qur’an sehingga tidak menyadari urgensi dari ‘iqra’? Kalau begitu janganlah heran kalau pada masa sekarang kebodohan dan pembodohan terhadap bangsa Indonesia dan muslim menjadi tontonan sehari-hari.

Harusnya kembali berkaca dan belajar dengan sejarah kegemilangan Peradaban Islam yang tak lepas dari kontribusi aktivitas membaca. ‘Flashback’ masa kejayaan Peradaban Islam yaitu pada akhir abad ke-8 M yaitu era kekuasaan dinasti Abbasiyah, aktivitas menulis buku sungguh marak. Pada zaman tersebut minat baca sangat tinggi. Telah tercatat jumlah perpustakaan umum yang dimiliki penguasa Kekhalifahan Umayyah II di Andalusia mencapai angka 70 unit. Selain itu, para ilmuwan dan ulama di kota itu juga memiliki perpustakaan pribadi yang jumlahnya tak terhitung. Tak heran, Cordova, Ibukota pemerintahan dinasti Umayyah di Andalusia menjadi pusat ilmu pengetahuan yang sangat pesat. Perpustakaan Darul Hikmah Baghdad memiliki 100 ribu jilid buku dan 600 ribu buah manuskrip era Harun Ar Rasyid (149-193 H) [3].

Salah seorang Ulama dan sastrawan pada masa umayyah yaitu Abu Al Hasan Basan mengisahkan Cordova adalah puncak kemajuan, pusat segala panji, ibu dari semua kota, tempat tinggal orang-orang mulia dan bertakwa, tanah air orang-orang berilmu dan cerdas, mata air tempat semua ilmu memancar. Dari Ufuknya terbitlah bintang bintang bumi dan tokoh-tokoh zaman. Darinya lahirlah berbagai karya yang mengagumkan dan ditulis buku-buku yang cemerlang. Dan penyebab itu semua adalah ufuk Cordova hanya meliputi para peneliti dan penuntut ilmu serta sastra [4].

Kalau anda cermati pendapat Abu Al Hasan ‘ditulis buku-buku yang cemerlang’, berarti dapat disimpulkan bahwa minat menulis waktu itu sangatlah tinggi dan pasti akan berbanding lurus dengan minat membaca. Kalau saya ilustrasikan, membaca adalah proses mengisi dan menulis adalah proses menuangkan maka orang-orang yang menghasilkan tulisan adalah orang-orang yang gemar membaca dan orang-orang yang gemar membaca pasti akan menghasilkan tulisan ataupun buku. Menulis dan membaca kolerasinya sangat kuat. Gambarannya adalah membaca – menulis – membaca –menulis.

Bagaimana zaman sekarang ini, kita melihat kemunduran umat islam yang begitu jauh tertinggal dari umat lainnya?
Apakah mungkin Peradaban Islam dapat berjaya kembali sebagaimana dahulu? Jangan tanya saya tapi tanyakan pada mahasiswa yang di zaman era globalisasi yang lebih senang membaca novel romansa yang berujung pada kegalauan dibandingkan membaca buku-buku yang bermanfaat?
Tanyakan pada anak bangsa yang lebih suka ‘kongkow-kongkow’ untuk bergosip dibandingkan menghabiskan waktu dengan bacaan atau berdiskusi hangat tentang ilmu?
Tanyakan pada orang tua yang belum mendidik budaya baca pada anaknya dan tanyakan pada diri anda, sudahkah anda membaca hari ini?

Daftar Pustaka:

[1] Dr Raghib As-Sirjani adalah seorang pemenang nobel mubarak 2009 bidang penelitian keislaman, aktif dalam berdakwah baik sebagai narasumber berbagai seminar maupun dalam bidang tulisan.
[2] Amir Al Madari, author of spiritual reading.
[3] Ahmad Rivai, Zaky. 2016. Pelajaran dari buku kehidupan. Jakarta Timur: Al Haq Publishing.
[4] As-Sirjani, Dr Raghib. Bangkit dan runtuhnya Andalusia. Pustaka Al Kautsar.

Leave a comment