Oleh : Muhammad Ikbar Ishomi (Rabbani)
Editor : Cut Hani Bustanova (Daffa)
Sultan Muhammad Al Fatih lahir pada 20 April 1429, bertepatan dengan 26 Rajab 833 H. Ia adalah Sultan Utsmani ketujuh dalam silsilah keluarga Utsman yang bergelar Al Fatih dan Abul Khairat. Ia memerintah selama kurang lebih tiga puluh tahun dan berhasil membawa kebaikan, kebenaran, dan kemuliaan bagi kaum muslimin dan muslimat. Ia diangkat menjadi penguasa Daulah Ustmaniyah saat baru berumur 22 tahun setelah kematian ayahnya pada 16 Muharram 855 H (18 Februari 1451 M).
Sejak saat itu, Al Fatih patuh dan hormat terhadap gurunya dan mulai mendalami Al qur’an serta ilmu-ilmu lainnya dengan serius. Ia menguasai bahasa Turki, Arab, Persia, Yunani, Latin dan Hebrew dengan baik. Ia juga menimba ilmu dari Syaikh Ibnu Al Tamjid (seorang shalih ahli syair yang menguasai bahasa Arab dan Persia), Syaikh Khairuddin dan Syaikh Sirajjudin Al Halbi, serta para ulama lainnya. Selain itu, Syaikh Aaq Syamsudin dan Al Kurani juga merupakan dua orang syaikh yang paling berpengaruh dan dipercaya oleh Al Fatih. Dari mereka semua, Al Fatih muda telah belajar ilmu-ilmu seperti agama, bahasa, keterampilan, fisik, geografi, falak dan sejarah. Dalam pelajaran sejarah, ia mempelajari biografi tokoh-tokoh Eropa, seperti Kaisar Augustus, Constatine The Great, Theodosius The Great, Timur Lang dan Iskandar Agung dari Macedonia. Ketertariknya terhadap ilmu pengetahuan tidak pernah pudar. Pendidikan yang diterimanya dari banyak ilmuwan membuatnya tumbuh dengan wawasan gemilang. Di kemudian hari, semua itu membantu pemantapan kemandirian dalam menjalankan administrasi dan menguasai medan pertempuran. Al Fatih lantas tumbuh menjadi pemuda yang keras, berkemauan gigih dan selalu berusaha mewujudkan keinginannya dengan serius.
Setelah berhasil melakukan perbaikan internal di Daulah Utsmaniyah, Al Fatih mulai mengerahkan perhatiannya ke distrik-distrik Kristen di Eropa. Ia ingin menaklukkan dan memperluas Islam di sana. Banyak faktor yang membantu keinginan itu terwujud. Di antaranya adalah karena kekaisaran Byzantium terlibat konflik dengan negara Eropa lainnya. Kemudian, terjadi perselisihan internal yang menimpa seluruh distrik dan kota di Eropa secara umum. Al Fatih tidak hanya mencukupkan diri dengan dua faktor tadi. Ia telah berusaha dengan serius untuk meraih kemenangan dengan melakukan Konstatinopel. Sebab Konstatinopel merupakan ibukota kekaisaran Byzantium dan benteng strategis paling penting bagi pihak Kristen untuk bergerak menyerang dunia Islam selama beberapa kurun waktu. Konstatinopel juga menjadi kebanggaan kekaisaran Byzantium khususnya dan orang-orang Kristen umumnya. Al Fatih ingin menjadikan Konstatinopel sebagai ibukota Daulah Utsmaniyah. Ia ingin mewujudkan impian yang belum mampu diraih oleh para komandan pasukan Islam yang telah mendahuluinya.
Awal karirnya tidak berjalan memuaskan. Hubungannya dengan Halil Pasya, wazir senior tokoh, tidak berjalan harmonis, bahkan sempat memburuk. Hubungan Al Fatih dan ayahnya juga tidak begitu dekat pada awalnya. Namun, pada tahun-tahun terakhir murad, hubungan ayah dan anak ini semakin membaik. Ketika Al Fatih sedang melakukan persiapan untuk menaklukan Konstatinopel, Kaisar Byzantium berusaha mati-matian untuk mengalihkan perhatiannya itu. Kaisar Byzantium diketahui memberikan sejumlah harta dan bermacam-macam hadiah kepada Al Fatih. Dia juga berusaha menyuap beberapa penasihat Al Fatih agar bisa memengaruhi keputusannya. Akan tetapi, Al Fatih tetap bertekad untuk melaksanakan rencananya. Semua usaha Kaisar Byzantium tidak mampu mengubah keinginannya.
Al Fatih juga telah mengikuti jalan yang telah ditempuh oleh sang ayah dan para leluhurnya dalam melakukan berbagai penaklukan. Setelah menjadi penguasa Daulah Utsmaniyah, Ia mengatur ulang administrasi negara, memperhatikan urusan keuangan negara, mencari sumber-sumber pendapatan negara, membatasi alokasi pembelanjaannya, melarang pemborosan dan penghambur-hamburan harta. Ia juga memfokuskan pengembangan dan pengorganisasian ulang batalyon-batalyon pasukan, membuat daftar khusus untuk batalyon itu, menambah gaji dan memasok banyak persenjataan modern. Al Fatih juga memperbaiki administrasi pemerintahan dan otonomi daerah. Beberapa petinggi lama tetap dipertahankan posisinya di daerah mereka masing-masing. Namun, beberapa petinggi yang ‘lembek’ dan tidak serius dalam memerintah diturunkan. Ia juga meningkatkan kemampuan orang-orang di sekitarnya serta memperkuat mereka dengan ilmu manajemen dan militer yang cukup memuaskan. Semua ini turut membantu menstabilkan dan memajukan Daulah Ustmaniyah.
Al Fatih juga memberi perhatian khusus untuk mengumpulkan senjata yang diperlukan guna menaklukkan Konstatinopel. Di antara senjata yang paling serius dipersiapkan adalah meriam. Untuk keperluan ini, Ia mendatangkan seorang insinyur cerdas bernama Orban, seorang ahli meriam. Kedatangannya disambut baik. Al Fatih pun menyediakan semua yang dibutuhkan untuk proses membuat meriam itu, dimulai dari biaya, bahan baku, hingga tenaga manusia. Akhirnya, dalam sejarah ia terkenal dengan gelar Muhammad Al Fatih yang berarti Muhammad Sang Penakluk. Gelar ini ia raih karena keberhasilannya menaklukan Konstatinopel.
Referensi :
Alatas, Alwi. Al Fatih Sang Penakluk Konstatinopel. Zikrul Hakim: Jakarta, 2005.
Ash-Shalabi, Ali Muhammad. Muhammad Al Fatih Sang Penakluk 1453. Al Wafi: Sukoharjo, 2005.