Penulis : Fitri Al Tigris (Al Ghazi)
Editor : Siti Saibah Alfatimiyah (Rabbani)
Hari ini kita banyak belajar soal hukum yang ada di negeri ini. Kita sering mendengar celotehan, hukum seperti pisau. Tajam dalam menghukumi seseorang yang bersalah. Tetapi celotehan itu terbalik. Justru menjadi tajam ke bawah, tumpul ke atas.
Mana buktinya jika semua orang sama di mata hukum. Sementara ada orang-orang tertentu yang ‘spesial’ di mata hukum. Sudah jelas-jelas melakukan kesalahan dan melanggar hokum tetapi lama sekali diprosesnya. Sementara ada orang yang begitu cepat ditetapkan sebagai tersangka, begitu cepat diadili. Ini bukan ilusi tetapi fakta dan nyata.
Penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya menetapkan bahwa pengunggah video pernyataan Gubernur DKI Jakarta non aktif Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok terkait Surat Al Maidah ayat 51, Buni Yani, sebagai tersangka.
Buni Yani dilaporkan Komunitas Advokat Muda Ahok-Djarot karena diduga memprovokasi masyarakat melalui potongan video pidato Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok di Kepulauan Seribu.
Alasan penyidik menetapkan bahwa Buni Yani sebagai tersangka bukan karena mengunggah video, melainkan tulisan atau caption yang ditambahkan pada rekaman video dan diposting ke facebook pada 6 Oktober 2016.
“Yang menjadi masalah adalah perbuatan pidananya bukan memposting video tetapi perbuatan pidananya adalah menuliskan tiga paragraf kalimat di akun facebooknya ini,” Ujar Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya Komisaris Besar Polisi Awi Setiyono, di Mapolda Metro Jaya.
Kuasa hukum Buni Yani, Aldwin Rahardian, menyatakan bahwa penetapan kliennya sebagai tersangka tidak adil sebab kliennya baru pertama kali menjalani pemeriksaan sebagai saksi terlapor.
Jika benar-benar Buni Yani bersalah karena diduga memprovokasi masyarakat melalui sebuah tulisan atau caption dari sebuah video yang dia unggah, maka sebetulnya akan ada banyak sekali tersangka untuk urusan ini. Apa maksudnya? Hari ini, di era kebebasan bersuara melalui media sosial, tak jarang kita menemukan begitu banyak akun-akun atau komentar-komentar yang terindikasi memprovokasi. Tentu saja pihak yang melaporkan Buni Yani, tak serta merta kurang kerjaan melaporkan hal-hal seperti ini. Bisa saja ada pengalihan isu atau ada upaya mengambinghitamkan Buni Yani.
Buni Yani telah menjadi korban dari kedzaliman hukum. Membeberkan atau menyampaikan perbuatan salah dituntut dengan pasal pencemaran nama baik. Begitu cepat prosesnya, tanpa alasan, tanpa mengulur-ulur waktu.
Terlepas dari itu semua, lagi-lagi kita terlalu banyak menghabiskan energi. Berputar-putar bukan pada penyelesaian masalah tetapi lebih kepada menambah masalah baru. Kalo begitu, kapan negeri ini akan menjadi dewasa dalam menyelesaikan setiap masalah?
Diibaratkan seperti sedang terjadi kebakaran. Sumber api berasal dari satu titik. Menjalar kemana-mana, merambat melalui bahan yang mudah terbakar atau terpaan angin. Saat semua orang sadar terjadi kebakaran, mulailah semua berteriak kebakaran. Sebagian yang lain ada yang konkrit menyelesaikan kebakaran dengan mencari air dan menyiram sumber api. Yang konkrit ini lah yang benar-benar menyelesaikan masalah. Bukan menambah masalah yang baru. Padamkan apinya sehingga selesailah urusan kebarakaran. Bukan hanya berteriak-teriak saja.
Maka dalam hal ini, para pemangku kekuasaan, para penegak hukum, ayolah pak! Padamkan apinya. Api yang pertama kali menyulut semua kegaduhan ini. Jangan pergi kemana-mana menambah urusan baru. Sudah terkuras energi bangsa ini. Selesaikan yang harus diselesaikan.
“Apakah manusia mengira, dia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban ?” (Q.S. Qiyamah : 36)
“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya”. (Q.S. Al isra : 36)
***