Oleh : Abdullah Achmad (Al Ghazi)
Editor : Fitri Al Tigris (Al Ghazi)
Perasaan ‘kagum’. Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala menempatkan rasa ini pada kadar yang tepat. Kagum? Iya kagum. Kenapa? Karena hari ini saya ditakdirkan menjemput guru di bandara. Kalau hari ini menjemput, mungkin masa yang akan datang saya yang dijemput di bandara. Aamiin.
Kenapa bisa kagum? Karena ada orang yang begitu total dalam kebaikan. Itulah yang membuat saya kagum dan iri. Hari ini saya hanya punya waktu untuk menjemput guru. Tapi ternyata ada yang jauh lebih banyak, bersedekah total menyempurnakan semuanya. Mempersilahkan memakai mobilnya, uangnya, bahkan waktunya agar aktivitas dakwah berjalan sukses. Masya Allah. Kini saya mengerti, itulah namanya “fastabiqul khoirot”. Berlomba dalam kebaikan itu perlu. Menyempurnakan kebaikan sebagai bekal pulang.
Coba mundur sedikit. Islam mengenal nilai sosial. Bapak Amien Rais menyebutkan “tauhid social”, menyibukkan diri dalam aktivitas sosial, mengambil peran di masyarakat, mengaplikasikan ‘hablumminannas’ setelah ‘hablumminallah’ beres.
Kembali lagi ke fastabiqul khoirot. Berlomba dalam kebaikan. Mungkin begini pemaknaannya : Lewat kisah dialog antara guru dan murid. Murid bertanya begini, “guru mana yang lebih dahulu, saya berangkat haji atau saya memberangkatkan haji orang tua saya?”.
Jelas mulia bukan memberangkatkan haji orangtua, barangkali ini juga impian semua anak, membayar bakti dalam wujud itu. Tapi apa jawaban guru itu? Simaklah, “kamu saja berangkat haji, nanti di sana doakan orang tua bisa juga berangkat, doa kamu pasti dikabul, tanah haram orang nyeletuk aja dikabulkan, apalagi doa serius”, lalu guru itu melanjutkan penjelasannya, “dalam ibadah tidak mengenal bakti, tidak mengenal mempersilakan, Allah Subhanahu Wa Ta’ala ajarkan dalam ibadah itu fastabiqul khoirot, lomba, bukan mengalah, amal itu masing-masing.” Masya Allah. Jelas bukan apa itu makna fastabiqul khoirot?
Kagum. Saya selalu kagum. Bahkan sahabat saya ada yang rela meninggalkan setiap waktu akhir pekan bersama keluarga demi mengajar, menjamu orang ingin belajar. Bahkan ada yang sampai merelakan tubuh pingsan demi kegiatan dakwah berjalan lancar.
Guru yang tadi saya jemput punya pengalaman dan wawasan luas. Beliau aktif menulis buku. Dari cerita beliau, saya belajar banyak hal. Beliau mengatakan, ajarkan anak tentang agama melalui kalimat larangan disertai penjelasan. Belajar dari kisah Luqman ketika mengajarkan anaknya. Persoalan bahasa. Ini sekaligus membantah teori barat yang mengatakan tidak boleh mengajarkan anak dengan kalimat larangan, kenapa? Karena nanti malah cenderung mencoba yang dilarang itu. Kalau benar teorinya begitu, tapi kenapa Singapura begitu tertib warganya? Padahal begitu datang ke Singapura terpampang banyak larangan di sana-sini. Dilarang merokok, dilarang meludah, dan lain sebagainya.
Jadi? Teori itu salah. Belajar dari kisah Lukman saja. Memanggil anaknya dengan panggilan terbaik (ya bunayya) lalu melarang ini itu (la tusrik Billah). Tetapi larangan tersebut mesti disertai penjelasan mengapa itu dilarang. Begitu seharusnya. Ini masalah bahasa yang memengaruhi pola pikir. Saya jadi tidak sabar ingin menyelesaikan buku saya yang ada kaitannya dengan bahasa dan pola pikir. Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberikan kelapangan waktu dan bisa terbit. Aamiin. Sudah sejak tahun 2014 saya impikan buku itu.
Banyak lagi ilmu dari beliau (guru saya), nanti lain waktu saya bahas. Termasuk bagaimana Qatar mengelola negara, termasuk betapa Istiqomahnya beliau tidak menggunakan produk zionis.
Alhmdulillah, terima kasih ya Allah Subhanahu Wa Ta’ala, hari ini penuh hikmah. Ayo fastabiqul khoirot. Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyuruh begitu, kerjakan sudah. Kerjakan kebaikan dengan sempurna sesuai kadar kemampuan, jaga niat, jaga keikhlasan. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, setiap manusia hendaknya memperhatikan masa depan akhirat. Kehidupan yang kekal. Maka, lebih enak lelah dalam kebaikan daripada lelah dalam kemaksiatan.
Wahai Allah Subhanahu Wa Ta’ala … titipkan kepada kami rasa fastabiqul khoirot. Aamiin. Rasa totalitas dalam kebaikan. Mampukan dalam berlomba kebaikan. Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala senantiasa menjaga niat baik dan keikhlasan dalam berbuat amal soleh. Amal soleh yang akan mengetuk pintu Rahmat Allah Subhanahu Wa Ta’ala agar kita diizinkan masuk surga-Nya. Aamiin.
***