Akhir-akhir ini kita digegerkan berita penganiayaan ulama (ustadz) yang dilakukan oleh “orang gila”. Peristiwa penganiayaan tersebut dilakukan kepada KH. Emon Umar Basyri, Pengasuh Pondok Pesantren Al Hidayah Cicalengka. Dilain tempat Ustadz Prawoto, Brigade Persatuan Islam Komando Pusat juga dianiaya yang akhirnya meninggal dunia. Aparat yang menangani mengabarkan bahwa pelaku adalah orang “gila”, maka akan timbul konsekuensi hukum terhadap pernyataan tersebut.
(Picture : pixabay.com)
Menurut Prof. Sudarto, pidana ialah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Sehingga, pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan. Jadi apa yang dilakukan oleh pelaku kepada kedua ulama tentu termasuk perbuatan pidana, yang diatur oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 351.
Pengenaan pidana tersebut merupakan pembuktian yang paling mudah tanpa unsur-unsur lain yang lebih kompleks, diantaranya apakah penganiayaan tersebut direncanakan secara sistematis, atau memang perbuatan tersebut merupakan tindakan pembunuhan murni. Namun setidaknya perbuatan yang dilakukan pelaku sudah termasuk pidana, sehingga pelaku harus mempertanggungjawabkan apa yang telah ia lakukan. Kemudian, hakim akan menilai apakah perbuatan pidana tersebut patut dihukum atau dapat dibenarkan (dimaafkan). Dalam KUHP dikenal adanya “alasan pemaaf”, yaitu alasan yang menghapus kesalahan dari si pelaku suatu tindak pidana sedangkan perbuatannya tetap melawan hukum. Misalnya lantaran pelakunya gila, sehingga tak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya itu (Pasal 44 KUHP).
Hal inilah mengapa ditekankan pada “orang gila”, sebab dalam aturan hukum pidana di Indonesia seorang pelaku pidana dapat dibebaskan dari pemidanaan apabila dianggap tidak mampu bertanggung jawab atas perbuatannya tersebut. Sehingga yang dilakukan pelaku terhadap kedua ulama di wilayah Jawa Barat adalah perbuatan pidana. Akan tetapi, pelaku berpotensi untuk lepas dari pemidanaan karena diasumsikan mengalami gangguan jiwa.
Namun terlalu dini untuk mengasumsikan bahwa pelaku adalah “orang gila”, sebab yang berwenang menentukan perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan merupakan wewenang hakim. Dalam penentuanya, harus berdasar pada bukti-bukti yang ada dan membuktikan bahwa pelaku memang memiliki gangguan jiwa. Sebagai contoh kasus Sumanto Ilhami (Sang Kanibal). Menurut pemahaman publik, Sumanto memiliki permasalahan pribadi yang dalam proses persidangan tetap dianggap dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya sehingga dinyatakan bersalah. Namun secara aturan hukum, penyidikan terhadap kejahatan tersebut dapat dihentikan dengan berpedoman kepada Pasal 109 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, salah satunya jika tidak terdapat cukup bukti.
Dari uraian diatas jika memang perkara tersebut telah memiliki alat bukti yang cukup maka perkara tersebut harus tetap diteruskan ke pengadilan, dan biarkan hakim dengan kewenangannya memutuskan apakah pelaku dapat mempertanggungjawabkan perbuatan pidana tersebut atau tidak. Siapapun tidak berhak memutuskan pelaku mengalami ganguan jiwa atau tidak termasuk aparat kepolisian, kecuali hakim yang memiliki wewenang melalui mekanisme peradilan.
(Penulis : M. Suherial Amin, angkatan Al-Hijrah)