Jl. Sisingamangaraja, RT.2/RW.1, Selong, Kby. Baru, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12110

I-Con (Inspiration Corner) : Tiga Tangga dalam Berislam

Penulis : Fendi (Rabbani)
Editor : Hany Ova (Daffa)

Menyikapi ragam masalah di Indonesia, umat muslim harus selalu bersikap optimis dan peduli. Namun pada kenyataannya, semakin hari, semakin banyak warga yang apatis terhadap carut marut masalah yang terjadi di negeri ini. Sebut saja masalah darurat narkoba, LGBT, darurat kejahatan seksual, korupsi, dan lain sebagainya. Sebagai muslim yang mengidamkan baldatun thoyyibatun wa robbun ghoffur setidaknya kita berupaya menapaki tiga tangga dalam berislam untuk mewujudkan mimpi itu.

Ada tiga tangga dalam berislam yang ketika Allah izinkan kita menapaki ketiga tangga itu, kita akan termasuk dalam golongan umat terbaik. Tangga pertama adalah tangga AFILIASI (keberpihakan). Ketika kita telah memutuskan mengaku sebagai muslim, kita harus berpihak pada isu-isu penting. Misalnya pada kasus LGBT, di manakah posisi kita? Pada kasus Kalijodo, di manakah posisi kita? Mendukung atau menolaknya?

Dua puluh tahun lalu, Brazil merupakan negara yang menolak LGBT. Tetapi sekarang di Brazil ada undang-undang yang melegalkan pernikahan sejenis. Padahal persentase masyarakat yang menolak LGBT di sana saat ini masih berkisar di angka 80%. Pasalnya, kini, mayoritas masyarakat Brazil menjadi generasi yang EGP (Emang Gue Pikirin). Saat referendum berlangsung, jumlah masyarakat yang menolak LGBT lebih sedikit daripada jumlah masyarakat yang mendukungnya. Banyak masyarakat memilih abstain sehingga undang-undang itu dengan mudah diloloskan. Dalam agama Islam tidak ada konsep tidak memihak (abstain). Kita diharuskan menyuarakan kebenaran meskipun itu sulit dan pahit sebab salah satu jihad yang besar adalah mengatakan hal yang benar di depan penguasa yang batil.

Afiliasi saja tidak cukup. Kita harus menapaki tangga kedua yaitu PARTISIPASI. Setelah menunjukkan keberpihakan pada kebenaran, harus ada aksi yang kita lakukan. Pak Habibie pernah memberikan teladan ketika beliau menjadi Wapres. Beliau memperhatikan daftar Nilai Ebtanas Murni (NEM) siswa SMA dari tahun 1986 sampai dengan 1996. Hasilnya, ternyata banyak NEM madrasah yang berada di posisi bawah sementara sepuluh nilai teratas diduduki oleh sekolah-sekolah non-Islam, seperti Kanisius, Marsudirini dan BPK Penabur. Pak Habibi lantas berpartisipasi dengan mendirikan sekolah sebaik sekolah-sekolah non-islam tadi dan dibiayai oleh APBN. Kemudian berdirilah sekolah Insan Cendekia. Sayangnya dari 30-an provinsi saat itu baru berdiri dua sekolah. Meneladani beliau, kita dapat berpartisipasi dengan segala yang kita punya. Harta, tenaga, ataupun ide bisa dijadikan sumber partisipasi baik secara kelompok maupun individual.

Afiliasi dan partisipasi saja masih kurang. Harus ada KONTRIBUSI, inilah tangga ketiga. Kontribusi merupakan partisipasi yang lebih spesifik karena kita telah menjadi ahli di bidang yang kita geluti. Ipho Santosa misalnya. Beliau merupakan salah satu contoh pengusaha sukses yang menggaungkan nilai-nilai entrepreneur Islam ke seluruh Indonesia, melalui pembangunan TK Khalifah.

Tidak ada Facebook jika tidak ada Marc Zulkenberg. Apple tidak mungkin maju tanpa Steve Jobs. Kita tidak mungkin bisa bertanya kepada ‘Prof. Google’ jika tidak ada Larry Page dan Sergey Brin. Potensi untuk menjadi seperti mereka ada pada diri kita, keluarga kita dan mungkin kelak anak-anak kita. Ada potensi di mana akan muncul Ali bin Abi Tholib masa depan. Oleh karena itu, setiap kita harus berafiliasi dengan jelas, berpartisipasi pada pembangunan Negara dan berkontribusi agar menjadi yang terbaik di bidangnya. Semoga Allah menjadikan kita orang-orang yang dimaktubkan dalam Al Qur’an sebagai ‘kuntum khoiru ummah’, umat terbaik yang senantiasa teguh berafiliasi, berpartisipasi dan berkontribusi.

Leave a comment