Pandemi COVID-19 yang melanda hampir setahun belakangan ini memaksa banyak dari kita untuk beraktivitas lebih banyak di rumah. Ini membuat sebagian dari kita menjadi lebih peka dengan kehidupan bertetangga, tak terkecuali saya, dan Aldebaran menjadi dua sosok yang sering sekali menjadi bahan perbincangan yang terdengar familiar di telinga. Bahkan, mendadak sangat populer juga di jagad maya. “Aldebaran begini… Aldebaran begitu…” Seru, setidaknya bagi sebagian masyarakat kita yang masih menjadikan sinetron dan acara televisi sebagai hiburan utama.
Saya sih bukan termasuk penonton setia drama sinetron itu, tapi menurut pengakuan tetangga saya, ceritanya unik, beda dari sinetron kebanyakan. Ah sebentar, saya tidak ingin mengulas jalan cerita sinetron. Tapi intinya, ya, drama. Cerita rekaan yang melibatkan konflik dan emosi. Penonton menikmati, rating tinggi, dan saking populernya bahkan proses syutingnya saja dibanjiri penonton! Duh! Pandemi tampaknya hanya fiksi, sedangkan drama layar kaca lebih terasa dekat dan nyata.
Dalam sebuah masyarakat yang minim panutan, umumnya sebuah tontonan memang ramai dijadikan tuntunan. Teringat beberapa tahun lalu, betapa banyaknya orangtua yang menamai putra mereka dengan nama Farel. Hal yang sangat mungkin berulang pada sosok Aldebaran. Hehe… Kembali lagi, apa yang biasa kita saksikan tentu membentuk sebuah ingatan. Penggambaran sosok tokoh utama dari sinetron tentu stereotipnya jelas, bagus rupa, tampan, berkharisma, dan mengundang simpati. Sempurna! Sungguh sebuah pengharapan yang manusiawi jika banyak yang berharap memiliki kepribadian dan rupa yang sedemikian bagusnya.
Lantas apa masalahnya? Tidak, saya tidak ingin mempermasalahkan tentang mengidolakan artis sinetron atau kesia-siaan menonton drama dan televisi. Saya rasa kita semua tahu dan mengakui hanya nabi besar Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassallam saja panutan sejati dan kisah kehidupannya sudah lebih dari cukup untuk menginspirasi. Namun, yang menarik justru adalah ketika banyaknya ibu rumah tangga menikmati sinetron, tak sedikit yang terbawa suasana lantas menganggapnya nyata.
Beberapa hari lalu beredar video tentang seorang ibu rumah tangga yang panik di depan layar televisinya sendiri. Itu terjadi karena ia melihat Andin diracun oleh lawan mainnya. Tak mau Andin celaka, si ibu lantas menyodorkan air ke depan layar kaca. Aneh memang, tapi hal ini tak terjadi sekali dua kali. Betapa sesungguhnya saya haqqul yaqin si ibu tahu bahwa yang ditontonnya itu adalah sinetron, drama, fiksi, bohongan. Namun, karena kadung suasana, alam bawah sadar ibu tadi mungkin sudah masuk kepada tahap percaya bahwa yang ia lihat dan saksikan itu benar adanya.
Soekarno pernah mengatakan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa paling sensitif di dunia. Alasannya sederhana, karena bangsa kita adalah satu-satunya yang menggunakan guling hanya untuk sekadar dipeluk saat tidur. Andai Soekarno masih ada kini, mungkin alasannya bergeser menjadi, “Karena kita bangsa yang begitu seriusnya menonton drama, hingga menganggapnya nyata.”
Fenomena di atas membuktikan bahwa apa yang biasa kita saksikan membentuk sebuah kepercayaan. Kepercayaan yang secara tidak sadar juga membentuk perilaku. Drama yang disiarkan sehari-hari lantas dijadikan patokan berkehidupan. Berkaca pada televisi, tayangan yang ada kemudian lazim menginspirasi. Aktor tampan yang berperan baik, kita puja. Walau kita tahu di dunia nyata tidak seperti itu, tapi banyak yang lebih memilih percaya.
Sungguh prihatin jika dengan sinetron yang jelas-jelas fiksi saja, manusia secara umum demikian mudahnya dikelabui. Bagaimana jika kebohongan ini sejatinya tersaji dalam spektrum yang lebih luas, dengan alur cerita yang sungguh kompleks, didanai oleh orang-orang super kaya, diperankan para nama besar yang banyak dipuja, lantas divisualisasikan oleh seluruh media ternama? Kita ini sesungguhnya tahu tapi pura-pura tidak tahu, atau kita memilih tidak mau tahu? Atau lebih parahnya lagi, jangan-jangan kita seperti penonton drama sinetron yang menikmati untuk terus dibohongi?
Jangan lupa bahwa seorang ahli propaganda dari Jerman bernama Hitler pernah mengatakan bahwa kebohongan yang diulang terus menerus akan dianggap sebagai kebenaran. Belum lagi jika masyarakatnya memang kadung minim literasi. Terlalu jauh mengharap cek data fakta, jalan pintas dipilih hanya berdasar percaya katanya-katanya.
Sebagai penutup, mari kita renungkan ayat Allah untuk menguatkan hati kita semua terkait banyaknya tipu daya manusia,
“Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar.” (Q.S. Al-Baqarah: 9)
Semoga Allah senantiasa menunjukkan kepada kita yang haq ialah haq dan yang bathil ialah bathil.
================
Penulis: Mas Tiin (An Amateur Socio-Observer) Depok, Januari 2021
Editor: Nafilatul Falah (Yahfazhka)
Tim Jurnalistik Humas YISC Al Azhar 2020–2021
Yuk, bagi teman-teman civitas YISC atau umum yang ingin berdakwah lewat tulisan, jangan sungkan untuk mengirim tulisan ya!
Untuk panduan penulisan bisa klik di sini
CP untuk bertanya lebih lanjut: 08999391960 (WA Chat Only)