Dengan pakaian sederhana, sekelompok pemuda sedang berkumpul di suatu ruangan. Tak ada yang berbicara diantara mereka. Suasananya hening. Terlihat para pemuda ini sangat menjaga diri. Khawatir ada pihak lain yang mengejar-ngejar mereka dari luar sana. Tak lama kemudian, nampak pintu terbuka dengan pelan, seperti baru saja mengendap-endap, seorang pemuda lain masuk. Kemudian ia menutup kembali pintu pelan-pelan, dan berjalan ke arah pemuda yang duduk, pelan-pelan sekali.
“Ada lagi wahyu yang turun…?” Tanya seorang pemuda yang duduk tadi.
“Iya.” Sahut pemuda yang baru datang itu.
MasyaAllah…
picture : www.flickr.com
Itu adalah sepenggal imajinasi tentang pemuda di zaman Rasulullah. Pemuda-pemuda yang duduk itu adalah para pengikut Rasulullah yang sedang berkumpul di rumah Al-Arqam bin Abi Al-Arqam. Sedangkan pemuda yang masuk ruangan tadi adalah Zaid bin Haritsah, bekas budak Rasulullah yang akhirnya menjadi putra angkat beliau. Ia sedang menyampaikan wahyu yang baru saja ia dengar dari Rasulullah untuk segera disampaikan kepada para pengikut beliau.
Itulah pemuda di zaman Rasul. Mereka para pemuda yang sederhana, bahkan tidak sedikit dari mereka berasal dari kalangan kaum dhuafa. Namun, apa yang mereka pelajari adalah ilmu yang “besar”, Al-Qur’an. Firman Allah, Tuhan yang telah menciptakan alam semesta dan segala isinya. Dengan ilmu yang mereka pelajari itulah akhirnya mereka sadar, bagaimana mereka harus menatap hidup mereka di dunia ini?
Kita yang ada di zaman sekarang, harus bisa mencontoh mereka, para pemuda yang hidup di zaman Rasul. Yang mereka pelajari adalah ilmu high class, ilmu Al-Qur’an. Dan teladan mereka benar-benar contoh yang agung, Rasulullah, sehingga mereka menjadi pemuda-pemuda yang tangguh. Yang mereka pikirkan adalah wahyu yang turun, pembahasan tentang ayat Al-Qur’an. Pembahasan tentang bagaimana Rasulullah menjalani hidupnya, Sunnah Nabi. Dan mereka berusaha keras untuk hanya itu yang mereka pikirkan. Selain dari itu, tidaklah begitu penting untuk diikuti.
Kita apa? Kita mau terus-terusan menjadi pemuda yang biasa mengikuti arus saat ini, dihantam dengan lagu-lagu mellow? Mau terus-terusan jadi pemuda yang terbelenggu oleh sedikit kenikmatan duniawi? Dipermainkan oleh cinta palsu, pacaran? Direbut pemikiran kita oleh logika-logika sekulerisme, pluralisme dan liberalisme? Kita apa? Kita mau dijejali idola yang semu, yang berbicara tentang shalat pun tidak pernah?
Kita sebagai pemuda muslim harus berbenah. Cara berpikir kita harus seperti para pemuda di zaman Rasul. Meneguhkan hati sepenuhnya untuk ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka adalah pemuda, dan kita adalah pemuda. Lihat apa yang mereka lakukan, dan apa yang saat ini kita lakukan.
Firman Allah dalam surat Al-Kahfi ayat 13:
Artinya : “Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) cerita ini dengan benar. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambah pula untuk mereka petunjuk.” (Q.S. Al Kahfi – 13)
Ayat itu bercerita tentang pemuda Ashabul Kahfi, sekelompok pemuda yang beriman kepada Allah dan Dia tambah petunjuk kepada mereka. Dengan akidah yang kuat, mereka mengamankan diri masuk ke gua. Ashabul Kahfi, adalah pemuda yang hebat. Mereka punya kekuatan, mereka punya harta kekayaan, mereka punya jabatan, memilih mengamankan dirinya untuk mengamankan akidahnya. Dan mereka memohon kepada Allah, karena mereka hidup dalam keadaan zaman yang lalim sekali pada saat itu.
Tidakkah kita membayangkan, bagaimana rasanya jika kitalah pemuda yang disebut dalam ayat itu. Bangga sekali rasanya. Kita sebagai pemuda disebut-sebut, dibanggakan oleh Allah. Seperti halnya Allah memberikan contoh pemuda Ashabul Kahfi. Innahum Fityatun Aamanu… Mereka adalah pemuda. “Mereka adalah pemuda-pemudi YISC Al Azhar, yang merelakan weekend-nya dipakai untuk berkumpul, bersilaturahmi, mengaji, belajar agama. Mereka adalah pemuda-pemudi YISC Al Azhar, yang terus bergerak untuk menebarkan manfaat, mengajak saudara-saudara lain untuk berhijrah menjadi lebih baik”.
Rasanya hati bergemuruh jika membayangkan itu… mulailah merindukan, bagaimana para pemuda di zaman Rasul, bagaimana mereka bersikap, apa yang mereka pikirkan, apa tujuan mereka, bagaimana kebiasaan mereka? Untuk kemudian membandingkan bagaimana para pemuda di zaman sekarang?
(Penulis : Fitri Al Tigris, angkatan Al Ghazi