Jl. Sisingamangaraja, RT.2/RW.1, Selong, Kby. Baru, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12110

Juara Lomba Karya Tulis & Desain Logo: Milad YISC Al Azhar ke-49

Juara 1 | Lomba Karya Tulis: Milad YISC Al Azhar ke-49

Istiqamahkan Hati, Menjaga Hijrah Hingga Nanti
– Maufiroh –

“Hijrah” merupakan kata yang sering digaungkan oleh banyak orang, khususnya kaum pemuda. Bahkan, hijrah juga menjadi salah satu topik kajian yang menarik dan sering dibahas serta diperbincangkan. Terlebih lagi, tidak sedikit artis Indonesia yang juga menggaungkan fenomena hijrah sehingga menambahkan eksistensi kata hijrah itu sendiri. Euforia hijrah tak jarang bagaikan kondisi air laut, kadang pasang, dan kadang pula surut. Pasang saat semua berbondong-bondong menggaungkan semangat untuk hijrah. Surut ketika diri mulai lengah karena begitu banyak tantangan dalam menjaga hakikat hijrah dalam kehidupan, yaitu istiqamah. Seperti kata pepatah, “semakin tinggi pohon, semakin lebat buahnya, semakin kencang anginnya”, maka menjaga ke-istiqamah-an dalam berhijrah sesungguhnya sangat tidak mudah, kecuali memiliki ilmu untuk selalu mengupayakannya.

Hijrah banyak dimaknai dengan berpindah menjadi pribadi yang lebih baik. Dalam Islam, ada dua jenis hijrah, yaitu hijrah zahir atau fisik dan hijrah jiwa atau spiritual. Hijrah zahir, yaitu berpindah tempat tinggal atau tempat. Hijrah spiritual, yaitu menuju pada perbaikan diri. Adapun Rasulullah SAW bersabda, “Muhajir (orang yang berhijrah) adalah orang yang meninggalkan segala laranganNya (H.R. Imam Bukhari)”1. Maka, hijrah yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah hijrah spiritual.

Pembahasan tentang proses hijrah seperti mengulas proses menanam pohon yang berbuah. Pada saat menanam, kita akan memilih bibit terbaik untuk menghasilkan buah yang juga terbaik. Dengan harapan akan memperoleh buah yang baik, maka setiap detik pertumbuhannya akan diperhatikan dan dijaga dengan baik. Jika ada serangga atau hama pada tanaman, makan akan segera dihilangkan. Dalam rangka menjaga tanaman untuk terus bertumbuh, tak jarang diberi pupuk. Segala upaya akan dilakukan hingga buah dari pohon dapat dipetik. Begitu pula dengan proses dalam berhijrah. Hal yang sangat penting sebelum memulai hijrah adalah menentukan niat. Niat diibaratkan pemilihan bibit terbaik sebelum menanam. Rasulullah SAW menegaskan tentang niat dalam berhijrah pada sebuah hadis shahih, “Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan RasulNya, maka hijrahnya untuk Allah dan RasulNya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau

karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju. (HR. Bukhari no.1 dan Muslim no. 1907)”. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa sebaik-baik niat hijrah adalah untuk Allah dan RasulNya.

Buah terbaik dari hijrahnya seseorang adalah istiqamah. Istiqamah berasal dari kata “Qaama” yang artinya tegak lurus, berdiri. Dalam kitab Jami‟ul „Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab rahimahullah mendefinisikan istiqamah sebagai meniti jalan yang lurus, yaitu agama (Islam) yang lurus, tak bengkok ke kanan dan ke kiri, dan mencakup pelaksanaan semua ketaatan, baik yang zhahir maupun batin, dan menghindari semua larangan-larangan (Allah)2. Ibnul Qayyim menambahkan makna tentang istiqamah dalam kitabnya Madarijus Salikin, bahwa istiqamah itu terkait dengan ucapan, perbuatan dan niat3. Istiqamah dalam berhijrah, artinya upaya terus-menerus dalam meniti dan menegakkan jalan yang lurus serta bentuk sinergi antara batin dan zahir melalui akhlak yang mulia.

Apabila buah dari hakikat proses hijrah adalah istiqamah, maka pokok dasar istiqamah adalah tentang hati. Rasulullah SAW bersabda bahwa “Tidak akan istiqamah (tegak) iman seorang hamba hingga hatinya istiqamah (HR. Ahmad dalam al-Musnad No.13048, dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah)”. Hadits Nabi SAW juga menyebutkan, “Sesungguhnya dalam jasad ada segumpal daging. Jika segumpal daging itu baik, maka baik pulalah seluruh jasad dan jika segumpal daging itu rusak, maka rusaklah seluruh jasad. Segumpal daging itu adalah qalbu (hati).” (HR. Bukhari No. 52 dan Muslim No. 1599). Al-Hafidz Ibnu Rajab rahimahullah pun mengatakan bahwa “Pokok istiqamah adalah istiqamahnya hati di atas tauhid”. Pentingnya aspek hati dalam mencapai istiqamah ini pula menunjukkan betapa pentingnya keterlibatan kondisi hati dalam proses hijrah.

Pada kenyataannya, urusan tentang hati dalam proses hijrah untuk mewujudkan istiqamah merupakan tantangan yang tidak mudah. Hal yang menyebabkan ini menjadi tidak mudah adalah manusia memiliki hawa nafsu yang membuat iman berada pada kondisi pasang-surut. Keadaan pasang-surut iman seseorang ini menggambarkan kondisi hatinya, apakah dia dalam keadaan qalbun salim (hati yang bersih) atau keadaan qalbun maridh (hati yang sakit) atau bahkan qalbun mayyit (hati yang mati). Saat kondisi hati sedang baik, maka yang akan muncul adalah semangat dalam beribadah, menuntut ilmu agama, dan berusaha menjauhi segala maksiat. Sebaliknya, apabila hati dalam keadaan sakit, maka akan timbul

rasa malas, mungkin saja kembali lagi pada kondisi saat sebelum hijrah. Hal lebih buruk dari kondisi hati yang sakit adalah matinya hati. Saat hati dalam kondisi mati, maka tidak dapat menerima nasihat apapun dan hal paling buruk yang mungkin terjadi adalah berpalingnya dari Allah SWT.

Beruntung sekali Indonesia memiliki banyak komunitas dan tokoh-tokoh influencer serta lingkungan yang mengajak pada jalan kebaikan menuju proses hijrah. Komunitas pemuda muslim di Jakarta, seperti Youth Islamic Study Club (YISC) Al-Azhar, Remaja Islam Sunda Kelapa (RISKA) Menteng, YukNgaji!, Muzammil Hasballah sebagai salah satu influencer, dan masih banyak lagi. Peluang-peluang kebaikan tersebut adalah salah satu upaya menjaga kondisi hati tetap sehat dan menyembuhkan hati yang sakit. Akan tetapi, kita juga perlu belajar dari kisah orang lain yang telah hijrah namun hatinya dipalingkan atas kehendak Allah SWT. Dapat kita ambil contoh salah satu selebgram Indonesia yang sebelumnya berbusana serba terbuka hingga hijrah dan mengenakan hijab menutupi lekuk tubuhnya. Namun, kini selebgram yang telah hijrah tersebut, telah berpaling dari agama Allah SWT. Tidak sedikit pula tokoh terkenal yang keluar dari agama Allah setelah mendapat petunjuk dariNya. Hal ini menunjukkan bahwa urusan hati dalam proses hijrah sangat tidak bisa diremehkan. Nabi Muhammad SAW telah bersabda bahwa, “Ya! Sesungguhnya hati (para hamba) itu berada diantara dua jari dari jari-jemari Allah, Dia membolak-balikkannya sesuai dengan yang Dia kehendaki!”. [HR. At-Tirmidzi, Ahmad, dan selainnya, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi 2140]4. Selama proses hijrah, kita tidak boleh lupa bahwa yang menggenggam dan berkuasa terhadap hati manusia adalah Allah, Dialah yang Maha Membolak-balikkan hati manusia. Oleh karena itu, Nabi Muhammad SAW senantiasa berdo‟a sekaligus mengajarkan kepada ummatnya agar hati kita selalu teguh dalam agama Allah, yaitu yang artinya, “Wahai Zat yang membolak-balikkan hati, tetapkan hatiku di atas agama-Mu.”

Selain mendawamkan do‟a yang diajarkan Rasulullah SAW, kita juga perlu melakukan beberapa upaya dalam menjaga istiqamahnya hati dalam proses hijrah. Syekh Al Buthi, dalam kitabnya yang berjudul Bathin al-Itsm menyebutkan solusi dalam permasalahan

hati/dosa batin yang tersembunyi, yaitu senantiasa melakukan refleksi diri dengan merenungi tujuan hidup atau hakikat hidup manusia dan senantiasa mengingat adanya pengawasan Allah SWT terhadap segala perbuatan manusia, membiasakan diri mengingat Allah dengan berdzikir, wirid, dan/atau tilawah Al-Qur‟an, memperbanyak do‟a, dan menghindari memakan sesuatu yang haram5. Sayid Abu Bakr dalam kitabnya yang berjudul Kifayatul Atqiya menambahkan tentang upaya mengobati hati, yaitu dengan berkumpul bersama orang-orang yang shaleh, yang dapat membimbing dan menjadi cermin kehidupan yang lebih baik. Selain itu, Syekh Al-Buthi juga menyebutkan bahwa diantara sebab matinya hati adalah penyakit hati dan maksiat yang dilakukan dari ujung kaki hingga ujung kepala manusia. Hal ini sesuai dengan ancaman Allah dalam surat Al -Muthaffifin ayat 14, yang berfirman bahwa “Sekali-kali tidak! Bahkan apa yang mereka kerjakan itu telah menutupi hati mereka”.

Sejatinya, proses hijrah terus berlangsung selama kita masih bernapas. Apabila dikembalikan pada analogi proses menanam tanaman, maka kondisi saat tanaman mati itulah menggambarkan pula kondisi saat ajal menjemput kita. Apakah kita ingin tanaman itu mati dengan meninggalkan banyak buah yang manis atau sebaliknya? Tanpa ragu, setiap hambaNya pasti menginginkan malaikat pencabut nyawa mengambil nyawa kita dalam sebaik-baiknya keadaan, yaitu husnul khotimah. Oleh karena hakikat dari sebuah hijrah adalah istiqamah, dan pokoknya dari istiqamah adalah hati, maka jagalah kondisi hati agar tetap sehat (qalbun salim) hingga saatnya kita kembali padaNya. Karena sesungguhnya, hal yang paling menyakitkan dari upaya hijrahnya seseorang adalah dipalingkan hatinya setelah Allah beri petunjuk dalam hidupnya.

Wallahu A‟lam Bisshowabi.

Sumber :

1 https://www.nu.or.id/post/read/81402/hijrah-sebuah-renungan
2 https://muslim.or.id/32376-10-kiat-istiqamah-5.html
3 https://muslim.or.id/33387-10-kiat-istiqomah-10.html
4 https://muslim.or.id/31345-10-kiat-istiqamah-3.html
5 Al-Buthi, M. Said Ramadhan. (2019). Dosa (Batin) yang Tersembunyi. Yogyajakarta: Penerbit Layar.

 

======================================================================================================================================================

Juara 2 | Lomba Karya Tulis: Milad YISC Al Azhar ke-49

Dakwah di Media Sosial, Yes or No?
– Fania Nur Athiyah –

Sebelum mencoba membuat karya tulis ini, saya berpikir untuk menanyakan pendapat teman-teman mengenai dakwah di media sosial. Dan tentu saya memilih media sosial, tepatnya fitur Instagram Stories (Lampiran 1), untuk menjadi penghubung saya bertanya kepada teman-teman. Karena saya pikir, media sosial adalah hal yang paling menarik untuk kita, kaum millennial, kan?
Dilansir dari BBC News Indonesia (16/01/18), tiga miliar orang, atau sekitar 40% populasi dunia menggunakan media sosial. Dan saya yakin, jumlah itu terus meningkat seiring dengan canggihnya fitur-fitur media sosial yang ada saat ini. Dari anak kecil hingga lansia, semua dimudahkan dengan kecanggihan bertukar kabar melalui pesan online. Pun untuk kaum remaja dan dewasa, membagikan kehidupan personal melalui media sosial bukanlah hal yang asing.

Hal itu membuat kata “Influencer” menjadi sering digunakan pada percakapan sehari-hari. “Influencer” yang diambil dari kata “Influence” dengan arti “mempengaruhi” adalah orang-orang mempunyai banyak followers ataupun audience di akun media sosial serta memberikan pengaruh yang kuat terhadapnya (Sumber: Kumparan.com). Tidak heran, banyak dari pengguna media sosial yang terpengaruh atas apapun yang mereka lihat di Instagram, tonton di Youtube atau baca di Blog. Ditambah dengan adanya bantuan para “Influencer” tersebut.

Seperti salah seorang “Influencer”, Rachel Vennya yang baru-baru ini menggunakan kekuatan followers-nya untuk menggalang dana. Penggalangan dana yang ditujukan untuk membantu mengatasi virus COVID-19 itu mencapai angka Rp 5.000.000.000 dalam waktu empat hari saja. Rachel Vennya tidak perlu datang ke kerumunan orang untuk mendapatkan perhatian, beliau menggunakan media sosial untuk mendapatkan ribuan pendonor yang tersentuh dengan niat baiknya. Tidak berbeda, para followers-nya pun juga dengan mudah membagikan ajakan itu melalui media sosial ke teman-temannya yang lain. Sungguh tidak diragukan lagi kekuatan dari media sosial.

Menjamurnya para influencer membuat banyak gebrakan baru yang muncul dalam hal “menyampaikan.” Tidak terkecuali sekelompok atau perseorangan yang mencoba berdakwah melalui media sosial. Mengajak umat Muslim untuk lebih mengenal syariat agama Islam melalui media sosial adalah salah satu hal baru dalam berdakwah. Ditambah dengan jenis-jenis perantara yang kreatif seperti penggunaan Video, Podcast, Cerpen, dan sebagainya. Tidak heran, banyak dari umat Muslim yang merasa bahwa dakwah di media sosial adalah hal yang menarik.

Pendapat teman-teman saya mengenai hal ini rupanya cukup beragam. Sebagian besar dari mereka mengatakan bahwa dakwah di media sosial atau bahkan dakwah online yang kadang ditampilkan pada live streaming, sangat membantu mereka yang tidak sempat pergi ke majelis ilmu di Masjid. Selain itu, media sosial adalah media yang yang paling mudah menjangkau banyak pihak dengan tanpa mengeluarkan banyak biaya. Bisa jadi, sebuah video dakwah yang diunggah oleh seseorang di Jakarta, dapat terdengar dan dimanfaatkan oleh mereka yang berada di Papua.

Sejalan dengan pendapat teman-teman saya, berdakwah pada media sosial adalah salah satu cara untuk menjadikan orang yang tadinya “tidak tahu” menjadi “tahu” dengan mudah. Bukan sekali saya menemukan amalan sunnah yang sebelumnya tidak pernah saya dengar. Bahkan beberapa amalan wajib pun banyak dijelaskan secara detail dan baik pada media sosial, yang membuat saya harus mengoreksi kesalahan yang selama ini dilakukan. Saya rasa, beberapa unggahan ajakan untuk berbuat baik di Instagram dan Youtube adalah salah satu faktor yang membawa saya untuk ikut melakukannya.

Ditambah lagi dengan adanya “influencer” yang bergerak di bidang dakwah. Keberadaan mereka membuat kita sebagai “followers” makin semangat untuk belajar agama Islam. Pun dengan ulama atau da’i yang membuat akun media sosial dan aktif di dalamnya. Hal itu membuat keinginan untuk bertanya kepada yang lebih tahu, menjadi sangat mudah. Lagi-lagi saya merasa, media sosial adalah wadah paling mudah untuk kita mencari jawaban atas segala pertanyaan mengenai agama. Saya pun pernah menggunakan media sosial untuk bertanya kepada mereka yang lebih tahu mengenai ilmu agama.

Namun, seperti layaknya sebuah perbuatan yang memiliki konsekuensi, berdakwah di media sosial bisa juga menjadi suatu bumerang. Beberapa teman berpendapat bahwa penggunaan media sosial yang menyeluruh ke banyak “audience” membuat para pelaku dakwah baiknya lebih berhati-hati. Akan ada banyak lapisan masyarakat yang memiliki perbedaan pendapat atas apapun ajakan yang disebarkan.Menurut saya, penggunaan kata dan pemilihan topik yang tepat adalah salah satu hal yang sebaiknya diperhatikan. Karena seringkali, narasi yang digambarkan membuat masyarakat salah paham. Apalagi yang terlihat oleh “audience” hanya sebuah video atau tulisan. Memang, rasanya sangat berbeda antara mendengarkan dakwah secara langsung dan melihatnya melalui media sosial. Terkadang, banyak kesalahpahaman yang muncul dan sulit untuk langsung diselesaikan.

Terkadang kesalahpahaman itu berujung dengan pertengkaran. Membela apapun yang menurut mereka benar, tanpa mencari kebenaran yang sesungguhnya. Ditambah lagi dengan adanya akun-akun yang tidak bertanggungjawab dan digunakan untuk membesarkan api pertengkaran. Akun yang digunakan untuk menulis pendapat provokatif dan bahkan tidak jelas siapa yang bertanggungjawab. Sayang, makna dari dakwah itu sendiri hilang karena salah paham yang tak kunjung usai.
Atau bahkan, banyak pula akun berkedok menyebarkan kebaikan namun tidak memiliki sumber dan asal usul yang jelas. Keberadaan mereka dapat membuat hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. Padahal penyebaran dakwah perlu didasari dengan ilmu yang benar menurut syariat Islam. Pun dibimbing oleh para ulama agar tidak salah langkah. Karena, apa yang kita sebarkan nantinya akan kita pertanggungjawabkan pula, kan?

Saya pernah mendengar hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, “Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat.” Hadits itu berisi perintah dari Nabi Muhammad shallallaahu’alaihi wa sallam untuk menyampaikan perkara agama Allah walaupun hanya sedikit (Sumber: Muslim.or.id). Namun, penyampaiannya pun harus diikuti dengan ilmu agama yang baik. Atau bahkan hafalan yang bagus apabila hendak menyampaikan dalil dari Al-Qur’an.

Hadist itu membuktikan bahwa memang benar, dakwah adalah hal yang tidak bisa dilakukan asal-asalan. Walaupun media sosial adalah bentuk paling mudah untuk berdakwah, tapi belum tentu berdakwah di media sosial adalah hal yang mudah dilakukan. Karena, kita tidak tahu berapa banyak orang yang akan membaca, menonton bahkan mengikuti ajakan yang disebarkan.
Sebagai seorang Muslim yang juga sedang belajar, menurut saya, bukan berarti kita lantas berdiam diri saja. Menyebarkan kebaikan dan menjadi manfaat untuk orang lain adalah hal yang baik untuk disegerakan. Namun, pemilihan aksi dan sikap yang cerdas adalah hal yang sebaiknya dilakukan, apalagi berkaitan dengan hal krusial di media sosial.

Kita dapat membantu para pelaku dakwah atau ulama dengan menyebarkan ajakan mereka yang sudah ada di media sosial ke lebih banyak lagi orang. Kita juga dapat memberikan komentar dukungan pada mereka, pun memberikan kritik dan saran dengan kata-kata dan di tempat yang pantas. Atau yang paling penting, kita juga bisa mengimplementasikan setiap amalan yang kita ketahui ke dalam kehidupan masing-masing. Karena selain tulisan, video atau podcast, sikap kita sendiri juga dapat menjadi contoh dan “dakwah” yang baik, kan?