Pepatah bilang pengalaman adalah guru terbaik, begitu juga dengan kesalahan yang mengajarkan manusia sebagai makhluk Tuhan paling sempurna secara akal dan pikiran, bahwa kesalahan bisa menjadi petunjuk jalan yang benar. Bagiku kedua pepatah kuno ini mengandung unsur greget bagi kehidupan.
Lantas mengapa aku menyebutnya kuno? Sebab rasanya sejak aku belajar menggambar matahari diantara dua bukit hingga saat ini aku menyadari bahwa gambarku kala itu hanya fiktif belaka, karena ternyata bumi mengelilingi matahari dan berputar pada porosnya, bukan matahari yang berputar-putar diantara 2 bukit itu, seperti yang disebutkan dalam Al-Quran Surat Yaasin ayat 40.
Ya, pepatah kuno itu memang greget, pun se greget penantian ku kala itu.
7 tahun lalu…
Seorang gadis remaja dengan rutinitas 5 hari dalam sepekan melakukan aktivitas disebuah tempat di kawasan Jakarta. Pergi bersama fajar menyingsing dan pulang bersama rona merah merekah senja, iya senja, atau aku juga menyebutnya waktu asar. Waktu asar merupakan waktu yang mempunyai warna yang indah, bahkan Aisyah Radhiyallahu Anha menyebutkan warna saat asar merupakan warna bunga mawar paling indah di dunia. 1[1]
Perjalanan yang awalnya dilakukan untuk satu tujuan, berubah menjadi bercabang-cabang destinasi berdaun harapan, berbunga kekaguman. Perjalanan yang seharusnya tenang, lurus tanpa gangguan, kala itu diterpa berbagai angin namun angin yang datang bukan sebagai pengganggu tenang dan lurusnya jalan, melainkan datang menambah kesejukan, hembusannya membawa riang dan selalu penuh kejutan.
Pertemuan itu dimulai tanpa sengaja. Ya, pertemuan antara aku dan si putih bersih yang ku sebut begitu sejak awal aku melihatnya, bukan, tepatnya sejak saat Sang Pencipta alam mempertemukan kami. Ya, gadis remaja 7 tahun lalu itu adalah aku.
###
“Assalamu’alaikum” sapanya serasa penuh Doa, tatkala aku menengok sisi kiri melalui lintas benda tembus pandang. “wa’alaikumussalam” jawabku dalam diam dibarengi keheranan. “apa kiranya yang membuat aku ingin selalu melihatnya” batinku.
Setiap hari, tepat dikala fajar menyingsing dan senja menampakan rupanya bersama senyum merekah, tepat saat itu juga tak pernah sekalipun aku luput dari memandangnya, menjawab setiap salam dan sapanya yang tulus mengarah kepadaku. Otomatis aku bertasbih melihat keindahannya dan hati yang berdoa serta mata yang terus menyisir hamparan luas rumput hijau di halamannya yang seakan penuh kisah, sampai akhirnya menghilang perlahan-lahan mengikuti laju roda bus.
Adalah kisah milik mereka yang hilir mudik dari sejumput-rumput yang satu ke rumput yang lain. Mereka, pemilik tawa, canda, senyum, dan rona kebahagiaan lainnya yang walaupun tak sempat detail otakku merekam, tapi ku pastikan tawanya lepas danbahagia. Meski sekilas, tapi mempesona, sekilas tapi memberi pesan yang tegas, ya memang sekilasku melihat apapun disana, tapi kilas itu berkilau, berkilat nyata.
Sepertinya kilau itu telah menembus jauh melebihi benda tembus pandang yang memperantarai aku dan si putih, ya kilau itu telah menembus nurani. Semakin sering ku jumpai walaupun lagi dan lagi hanya sebatas menyisir halamannya dan meraih senyum air mancur yang terdapat didalamnya, semakin sering juga aku merasa harus datang menjumpainya, tapi aku sungguh tidak ingin hanya datang lalu pulang, aku ingin datang dan melakukan sesuatu disana, yang memiliki nilai manfaat.
Sepanjang perjalanan pergi dan pulang aku hanya bisa berkeinginan, tanpa mencari tahu sedikit pun bagaimana cara mencapai inginku. Mungkin karena saat remaja dulu pikiranku masih terlalu condong pada kehidupan duniawi, tentang masa-masa remaja seragam putih abu-abu yang hanya dimaksimalkan untuk foya-foya dan bermain saja. Ya, mungkin itu yang membuatku hanya bisa berkeinginan tanpa mencari tahu bagaimana menjumpai si putih dan melakukan hal berguna disana. Satu lagi yang paling penting, juga karena saat itu aku belum mengerti tentang hal menjemput hidayah.
Tujuh tahun kemudian…
Seorang kawan yang juga adalah tetanggaku mengajak untuk mengikuti sebuah pengajian. Puji syukur ibu mengajariku untuk jangan menolak ajakan kebaikan, sehingga saat itu juga aku mengiyakan ajakannya. Sebuah proses persetujuan kilat, menakjubkan memang nasihat tulus seorang Ibu. Kemudian setelah itu, barulah muncul pertanyaan mengenai gambaran aktivitas mengajinya. Alangkah tercengang bercampur haru hati ini seketika mendengar jawabannya. Disebutnya sebuah nama, nama itu adalah YISC Al Azhar. Tertahan segala tanya yang sudah kususun sebelumnya, hatiku mendadak terkoneksi dengan si putihku 7 tahun lalu.
Kebenaran itu telah membuatku ingin segera melebur dalam kegiatan apapun di YISC. Kebenaran bahwa YISC Al Azhar adalah sebuah aktivitas yang telah lama aku nantikan, namun tidak tahu dan tidak pernah mencari tahu walaupun selama itu.
Masih hangat sekali memori detik-detik saat mendengar kabar yang dibawa kawanku itu. 7 tahun lamanya aku hanya berkeinginan menemui si putih dengan berharap melakukan sesuatu yang ternyata ku temui jawabannya sekarang. Ya, YISC Al Azhar, sebuah jawaban sekaligus penghantar aku masuk kedalamnya untuk tidak sekedar bertamu.
Januari 2018 perjalanan pun dimulai…
Bertemunya aku dengan si putih yang adalah Masjid Agung Al zhar, yang berdiri kokoh atas izin-Nya dan bercat putih mempesona, memanggil-manggil iman yang selalu haus akan pengampunan. Puji syukur tak hentiku ucapkan ketika sudah bergabung menjadi bagian keluarga besar Youth Islamic Student Club (YISC) Al Azhar.
Gemerlap masa putih abu-abu sungguh telah membuat duniaku abu kala itu. Kehidupan nyata dan maya yang masih ramai dengan hingar bingar isi dunia. Lingkungan yang jauh dari istighfar, seringnya hanya mengeluh dan berbuat kekhilafan seakan tanpa jeda, yang tidak menyadari dosa sudah semakin menggunung tak terbendung.
Begitu juga kehidupan dunia maya, dimana aku- akun yang aku ikuti di instagram salah satunya, hanya untuk kepentingan dunia saja, bahkan sekalipun ada akun yang baik, mata ini hampir tidak menyadari keberadaannya, apalagi membaca isi postingannya. “Mana aku tahu kalau si putihku juga mempunyai akun sosial media, begitu juga dengan YISC Al Azhar” batinku setiap kali ingin memutar waktu.
YISC Al azhar, yang setiap kurang lebih 6 bulan sekali membuka pendaftaran bagi jiwa-jiwa yang terpanggil untuk belajar lagi ilmu agama dan hijrah pelan-pelan bersama. Satu bulan, dua bulan, hingga telah melewati 12 bulan tanpa terasa YISC hadir mewarnai aktivitas ku. Sungguh kehidupan di dunia memang secepat itu, selalu nyata firman-Nya persis yang disebutkan dalam Qur’an Surat Al-Kahfi ayat ke 45 bahwa kehidupan di dunia seperti air hujan, cepat, begitu cepat, tidak terasa namun proses hijrah ku terasa begitu nikmat.
Ya, Hijrah. Sebuah proses untuk selalu berusaha menjadi lebih baik, lebih baik dan terus begitu, hingga perlahan-lahan meninggalkan sedikit demi sedikit gaya jahiliyah yang dahulu pernah melekat dipraktikan.
Kudengar beberapa teman menasihati agar hijrah jangan sendiri, berat katanya, tapi sungguh Tuhanku, Tuhan semesta alam Allah Subhanahu Wata’ala tidak membiarkan ku sendiri dalam proses ini. Bertahun-tahun penantian itu ternyata Ar Rahman telah mempersiapkan orang-orang pilihan-NYA untuk menemaniku mengarungi proses hijrah langkah demi langkah.
7 tahun lalu, saat hati ini masih melihat dunia maya sebagai dunia fantasi yang berisi permainan seru menggiurkan, dan terasa sayang jika diabaikan. Akun-akun jahiliyah terasa buah dunia yang manis, yang sehari bahkan satu jam pun terasa sayang untuk dilewati. Andai saat itu aku sudah bijak menggunakan sosial media di dunia maya, tidak mengikuti akun-akun fakir manfaat, akun-akun yang hanya menampilkan manisnya dunia yang terlihat kekal selamanya. Beruntung, lagi-lagi sungguh beruntungnya aku, ternyata belum terlambat. Lagi-lagi Tuhan ku, Tuhan semesta alam, Allahu Robbi memberikanku banyak jalan menuju jalan-NYA. Dalam proses hijrahku yang masih prematur, sungguh DIA Ar –Rohman yang Maha Pengasih, diberikannya aku kesadaran untuk tidak lagi melakukan kesalahan yang sama. Satu akun YISC Al Azhar di instagram, membawa ku pada puluhan akun- akun baik yang ku abaikan kala itu, bahkan sempat ku pandang sebelah mata.
Di sini, di YISC Al Azhar, juga bukan sekedar tempat belajar maupun hijrah bersama orang-orang pilihan-NYA, tetapi lebih dari itu, mengajariku arti menghargai sebuah proses. Layaknya proses seekor ulat untuk menjadi kepompong, kemudian kepompong yang belum pasti jadi kupu – kupu karena prosesnya tidak sehari dua hari, tapi berhari-hari, bisa 7 bahkan sampai 20 hari [2] jika berhasil prosesnya maka sempurnalah sosok ulat biasa tersebut menjadi kupu kupu dewasa yang matang, yang mengundang keindahan bagi mata siapapun yang memandang.
Metamorfosa…
YISC Al Azhar, yang merupakan organisasi remaja masjid memiliki tujuan mulia menjadi komunitas belajar yang berakhlakuk karimah dan memberikan manfaat bagi umat dan masyarakat sekitar, adalah juga tempat ku bermetamorfosa dengan cara yang lain.
Aku rasa tidak hanya kupu-kupu yang perlu bermetamorfosa. Ya metamorfosa, yang mengacu pada kata ‘metamorfosis’ dimana memiliki arti perubahan atau pembaharuan, dan perubahan yang dimaksud adalah perubahan diri dari jiwa yang belum sepenuhnya mengenal (menyadari) dirinya sendiri menuju jiwa yang berusaha memahami diri sendiri dengan selalu berpedoman kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits. Proses mengenal diri sendiri juga bisa disebut metamorfosa perjalanan hidup. Adanya sebuah metamorfosa, maka akan memunculkan sebuah perubahan dalam diri manusia. [3]
Namun aku menegaskan pada diriku sendiri bahwa bukan hanya itu, jika menghayati salah satu firman-Nya, sesungguhnya diri ini memang harus terus berubah, hijrah, meraih rahmat-Nya, meminta hidayah-Nya, dan terus berharap hanya pada-Nya. Seperti dikatakan dalam sebuah kitab suci yang tak akan pernah luntur kemurniannya, dan tak akan pernah ada tandingannya: “Sesungguhnya orang – orang yang beriman, orang – orang yang hijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itulah yang mengharapkan rahmat Allah. Dan Allah Maha Pengampun lagi maha penyayang.” (QS. Al-Baqoroh: 218)
Alhamdulillah, aku si gadis remaja yang pernah menanti 7 tahun lalu, akan selalu memuji pada Ar-Rohman, serta puji syukur tiada henti jika mengingat proses menanti hingga bertemu YISC Al Azhar yang ku lalui, semoga diri ini selalu istiqomah di jalan-NYA meski pasti menemui godaan – godaan ujian keimanan, serta kefuturan yang tak terkecuali.
Tapi kisah ini barulah kisah pembuka antara aku dan YISC…
###
#KontributorYISC
===================
Penulis : Siti Nurma (Al-Ghuroba)
Editor : Suherial Amin
Tim Jurnalistik-Humas YISC Al Azhar
Footnote:
[1] Sibel Eraslan. 2015. Aisyah: Wanita Yang Hadir Dalam Mimpi Rasulullah. Jakarta: Kaysa Media. Hal. 174
[2] www.zonarefensi.com (Online), diakses pada 16 April 2019, pukul 21.00.
[3] http://psikologi.uin-malang.ac.id/?p=3202 (Online), diakses pada Rabu 17 April 2019, pukul 22.00