Gue masih ingat daftar Youth Islamic Study Club (YISC) Al- Azhar karena disarankan teman biar hari ahadnya dihabiskan untuk hal yang berfaedah katanya. Daftar ke YISC bayar infak 400ribuan. Dulu waktu belum tahu YISC, rasanya berat mengeluarkan uang segitu hanya untuk ikut kelas kajian agama. Hingga kemudian gue belajar bahwa ada kisah tentang Ummu Rabi’ah yang ditinggalkan suaminya dengan harta sebesar 30.000 dinar. Ummu Rabi’ah ikhlas menghabiskan harta tersebut untuk membiayai pendidikan putranya yaitu Rabi’ah bin Farrukh Ar Ra’yi [1].
Rabi’ah bin Farrukh Ar Ra’yi adalah seorang Thabi’in yang juga salah satu guru Imam Malik. Imam Malik sendiri merupakan salah satu guru Imam Syafi’i. Wallahu a’lam bisa jadi ilmu dari Imam Syafi’i kemudian menurun hingga ke para ulama di Indonesia sampai ke kita semua. Semoga Allah merahmati guru-guru kita semua.
Kalau kini satu dinar setara dengan Rp 2.288.000, maka 30.000 dinar itu setara Rp 68.640.000.000. Kalau dipikir-pikir, greget juga ya bagaimana Ummu Rabiah bias menghabiskan biaya 68 milyar untuk pendidikan putranya.
Belum lagi jika dibandingkan kisah Imam Malik bin Anas yang menjual kayu atap rumahnya untuk membiayai keperluan hidupnya dan menuntut ilmu [2]. Abu Hatim juga menjual pakaian-pakaiannya karena kekurangan harta membiayai pendidikannya [3].
Perjalanan ke YISC dari Pulogadung ke Masjid Al Azhar sebetulnya cuma sejam naik Bus Transjakarta. Tapi seiring waku berjalan rasa malas dan jenuh mulai hinggap. Masuk kelas Bimbingan Studi Qur’an (BSQ) mulai sering terlambat, bahkan sesekali gak hadir karena kelasnya yang dimulai jam 8 pagi di hari Minggu. Mulai ada bisikan kalau jarak tempuh ke YISC terlalu jauh. Padahal dulu, sahabat Rasulullah yang bernama Jabir bin Abdullah Ra pernah sengaja membeli unta dan melakukan perjalanan selama sebulan ke Syam. Untuk apa coba? Ternyata demi mendapat ilmu tentang satu hadist kepada sahabat Abdullah Bin Unais Ra mengenai keadaan manusia di akhirat [4]. Sejam ke YISC bisa ikut kelas BSQ dan Studi Islam Intensif (SII) dibanding sebulan ke negeri Syam untuk dapet satu hadist, rasanya saya masih jauh kalah greget sama beliau.
Dulu pas masa perkenalan anggota baru (maperaba) baru sadar kalau pendidikan wajib di YISC adalah dua semester dengan satu semester pasca sebagai tambahan jika berminat. Total 1,5 tahun programnya kalau mau rajin. Pernah sesekali gue bergumam, “kok lama banget programnya”. Mau berhenti sayang sama infak yang udah dibayar. Padahal Ya’qub bin Sufyan, seorang ulama Hadist asal Iraq mengembara selama 30 tahun menuntut ilmu[5]. Bahkan gak sampai seperti Imam An-Nawawi atau Ibnu Taimiyah yang saking cintanya dengan ilmu, mereka berkeputusan untuk tidak menikah seumur hidupnya [6].
Kita selama belajar di YISC masih sangat mungkin untuk pulang pergi. Dahulu Imam Syafi’i pernah dilarang pulang ke rumah (diusir) oleh ibunya bertahun-tahun hingga ilmunya sempurna. Ibunda Imam Syafii sebelumnya bahkan berkata “Nak, pergilah menuntut ilmu untuk jihad di jalan Allah Swt. Kelak kita bertemu di akhirat saja.” [7]. Greget banget ya ibundanya Imam Syafi’i.
Ketika gue setiap hari gak bisa pisah dari gadget, power bank dan dompet. Adz Dzahabi pernah mengisahkan dulu pernah ada pencari ilmu bernama Ad Daghuli. Baik safar atau di rumah Ad Daghuli tak pernah melepaskan kitab Al Muzani, Al ‘Ain, At Tarikh dan Kalilah Wa Dimmah dari sisinya [8].
Media belajar sekarang banyak pilihan kalo mau misalnya video kajian di Youtube, kajian di berbagai masjid, merekam audio via ponsel, sampai majelis para ulama juga banyak pilihan untuk didatangi. Seandainya kita semua tahu bagaimana perjuangan Imam Syafi’i kecil ketika mencari ilmu. Gentong dirumahnya penuh dengan pelepah kurma, tulang, tembikar yang dijadikannya sebagai media untuk menulis. Hal tersebut karena ibunya tak punya biaya untuk membeli buku tulis [9].
Abu Bakar bin Athiyyah pernah mengulang membaca kitab Shahih Bukhari 700 kali, Sulaiman bin Ibrahim Al Yamani membaca kitab yang sama 150 kali, dan Abu bakar bin Muhammad membaca sebanyak 100 kali [10]. Sementara gue, masih ada tuh buku yang gue beli di Islamic Book Fair tahun 2017 yang belum dibaca bahkan masih terbungkus plastik. Nafsu baca buku gue masih kalah greget.
By the way, ini gue lagi nyeritain dinamika proses hijrah gue ya. Kalo ada satu atau dua hal yang ternyata mirip dialami sama lo, ya semoga bisa diambil hikmahnya.
Seberapa greget lo di YISC? Setiap ahad sebagian kami tak jarang masuk jam 8, pulang jam 8 juga hehehehe…
Jadi, seberapa greget lo di YISC?
Mungkin greget gue kalau dibandingin orang dulu masih kalah jauh. Tapi, semoga kita semua, terutama rekan-rekan di YISC bisa mengikuti gregetnya jejak para ulama dalam mencari ilmu.
Sumber :
[1] Abu Anas Majid Al Bankani. 2018. Perjalanan Ulama Menuntut Ilmu. Bekasi: Penerbit Darul Falah. Hlm. 132.
[2] Abu Anas Majid Al Bankani. 2018. Perjalanan Ulama Menuntut Ilmu. Bekasi: Penerbit Darul Falah. Hlm. 128.
[3] Abu Anas Majid Al Bankani. 2018. Perjalanan Ulama Menuntut Ilmu. Bekasi: Penerbit Darul Falah. Hlm. 161.
[4] Abd Fattah Abu Ghuddah. 2008. Bertualang Mencari Ilmu. Yogyakarta : Penerbit Pustaka Insan Madani. Hlm. 16.
[5] Abu Anas Majid Al Bankani. 2018. Perjalanan Ulama Menuntut Ilmu. Bekasi: Penerbit Darul Falah. Hlm. 158.
[6] Abdul Fatah Abu Ghaddah. 2001. Ulama Yang Tidak Menikah. Jakarta : Pustaka Azzam. Halm. 97 & 103.
[7] Kisah Imam Syafii Diusir Ibunya – Ustadz Adi Hidayat https://www.youtube.com/watch?v=rbIFVb7QGbI Diakses 21 April 2019 Pukul 16.30
[8] Ali Bin Muhammad Al Imran. 2018. Gila Baca Ala Ulama. Solo : Penerbit Pustaka Arafah. Halm. 63.
[9] Abu Anas Majid Al Bankani. 2018. Perjalanan Ulama Menuntut Ilmu. Bekasi: Penerbit Darul Falah. Hlm. 140.
[10] Ali Bin Muhammad Al Imran. 2018. Gila Baca Ala Ulama. Solo : Penerbit Pustaka Arafah. Halm. 123-125.
#KaryaTulisMilad03
===================
Penulis : Taufik Zain Akbar (Al-Fatih)
Editor : Winnie Amalia (Al-Farizi)
Tim Jurnalistik-Humas YISC Al Azhar